Baru saja Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan yang ke-72. Di tengah euforia perayaan HUT Kemerdekaan membersit sebuah pertanyaan mendasar: sudahkah bangsa ini mencapai tujuan kemerdekaan?
Salah satu cita-cita kemerdekaan nasional, yang juga termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sini, kecerdasan yang dimaksud pendiri bangsa bukan hanya kecerdasan otak, melainkan juga kemampuan menggunakan daya berpikir, rasa, karsa dan raga untuk mengenali dan memahami keadaan diri dan lingkungan sekitar, agar berguna bagi masyarakat dan bangsanya.
Lalu, setelah 72 tahun merdeka, sudahkah penyelenggaraan pendidikan nasional berhasil mewujudkan cita-cita tersebut?
Hingga sekarang ini, masih ada sekitar 6 juta rakyat Indonesia yang terjajah buta-huruf. Sebagian besar berdiam di Indonesia bagian timur: Papua, Nusa Tengggara dan Sulawesi barat.
Kemudian, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh Biro Pusat Statistik (BPS), masih ada 4,5 juta anak Indonesia yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Sebagian besar karena alasan kemiskinan.
Sementara data Kemendikbud menunjukkan, pada 2015/2016 ada ada 946.013 orang siswa yang lulus SD tidak melanjutkan ke SMP. Bahkan ada 68.066 anak lainnya yang putus di SD.
Sementara data UNICEF tahun 2016 menyebutkan, ada 2,5 juta anak Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lanjutan, yakni 600 ribu anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan hanya 44 persen anak Indonesia yang berhasil menuntaskan pendidikan menengah.
Jangan tanya angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia, kita merupakan yang terendah di ASEAN. Angka partisipasi kasar (APK) Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta Indonesia masih 31 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah 50-60 persen.
Dari segi kualitas, pendidikan Indonesia juga masih terbelakang. Peringkat Indonesia dalam penguasaan remaja berusia 15 tahun terhadap Sains, membaca, dan Matematika (PISA) masih di lapisan bawah. Tahun 2015, peringkat PISA Indonesia masih di peringkat 64 dari 72 negara.
Jangan tanya pula kontribusi pendidikan dalam menanamkan dan memperkuat nilai-nilai perikemanusiaan anak didik. Gaya pendidikan kapitalistik, yang mengedepankan persaingan ketimbang kerjasama, justru melahirkan ironi dalam dunia pendidikan kita. Mulai dari maraknya tawuran hingga kasus bullying, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ditambah lagi, masyarakat kita sedang diterjang oleh budaya anti-pengetahuan, seperti menyebarnya kebiasaan menebar kabar bohong (hoax) dan penolakan terhadap berbagai temuan ilmiah (seperti vaksinasi/imunisasi).
Dari berbagai persoalan itu, kita bisa menginventarisir berbagai persoalan mendasar dunia pendidikan kita. Pertama, lembaga pendidikan/penyelenggaraan pendidikan semakin sulit diakses oleh rakyat Indonesia. Ada dua penyebab yang saling berkorelasi, yakni: di satu sisi biaya pendidikan semakin mahal akibat praktik bisnis dalam dunia pendidikan, sedang di sisi lain kesejahteraan rakyat makin merosot akibat agenda neoliberal (pencabutan subsidi, politik upah murah, dan lain-lain).
Kita tahu bersama, sejak kapitalisme merasuk ke dunia pendidikan, biaya pendidikan melonjak naik. BPS mencatat, biaya pendidikan naik 10 persen setiap tahun. Sedangkan ZAP Finance menghitung kenaikan biaya pendidikan mencapai 20 persen per tahun. Di sisi lain, daya beli rakyat terus merosot.
Kendati pemerintah mencoba mengatasi persoalan itu dengan menebar Kartu Indonesia Pintar (KIP), tetapi jangkauannya baru sekitar 18 juta anak.
Di perguruan tinggi kita diperkenalkan dengan konsep Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang membebankan biaya pendidikan kepada setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua/wali-nya. Konsep ini pelan-pelan melucuti tanggung-jawab negara dalam memastikan setiap pemuda-pemudi Indonesia bisa mengakses pendidikan tinggi.
Kedua, melembaganya praktik diskriminasi dalam dunia pendidikan, yang mengkotak-kotakkan anak didik berdasarkan derajat kecerdasan hingga kemampaun ekonomi. Mulai dari konsep sekolah unggulan hingga sekolah elit/internasional. Bukan meleburkan mereka dalam kerjasama dan solidaritas.
Ketiga, kurikulum pendidikan yang sangat berorientasi bisnis dan pasar tenaga kerja. Akibatnya, lembaga pendidikan seperti mengalami kekeringan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, kebangsaan, dan keadilan sosial.
Konsep-konsep pendidikan warisan pendiri bangsa, dari Sukarno, Tan Malaka hingga Ki Hadjar Dewantara, pelan-pelan ditinggalkan. Sekarang banyak yang merasa bangga kalau memakai cap “Sekolah Internasional” dan memakai bahasa asing.
Keempat, tatanan dan penyelenggaraan pendidikan makin demokratis. Tata kelola perguruan tinggi tak ubahnya dengan tata kelola perusahaan. Akibatnya, nilai-nilai besar dunia pendidikan, seperti kemerdekaan berpikir dan berekspresi, terberangus oleh masuknya praktik model “disiplin pasar” dalam dunia pendidikan. Mahasiswa dilarang berpikir kritis.
Dua kejadian terbaru membuktikan hal itu. Akhir Juli lalu, dua mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) dilaporkan ke polisi karena postingan mereka yang menyindir Menristekdikti terkait kebijakan UKT. Selanjutnya, Presiden Mahasiswa UNSRI juga dilaporkan ke polisi karena mengkritik kebijakan kampus.
Menguatnya fundamentalisme di kampus, yang cenderung anti-pengetahuan dan anti-Pancasila, juga banyak dipengaruhi oleh keterasingan mahasiswa di dalam kampus dan terberangusnya kemerdekaan berpikir serta berekspresi.
Padahal, untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, ada tiga prasyarat yang tidak boleh dilupakan. Pertama, pendidikan harus dapat diakses oleh seluruh warga negara, tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Kedua, penyelenggaraan pendidikan harus ilmiah dan demokratis. Dan ketiga, muatan pendidikan harus memajukan dan memanusiakan.
Agar pendidikan bisa diakses oleh seluruh warga negara, tanpa kecuali dan diskriminasi, maka pilihannya cuma: menggratiskan biaya pendidikan atau membuat biaya pendidikan semurah mungkin. Praktik komersialisasi pendidikan harus dihentikan. Tentu saja, dengan mencabut semua regulasi yang telah menyerahkan layanan pendidikan pada logika bisnis (privatisasi).
Yang lebih penting lagi, negara harus dipanggil kembali kewajibannya untuk mengurusi penyelenggaraan pendidikan nasional. Mulai dari persoalan pembiayaan, infrastruktur, kurikulum, kelembagaan, hingga metode pengajaran.
Indrayani Abd Razak, Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
Sumber: Berdikari Online