Cerpen: Benny Hakim Benardie
Fajar menyinsing, mengiring hembusan angin senai-senai menusuk tulang, Jumat 1980 di Kota Bengkulu. Kicauan Burung Murai bersahutan di atas Pohon Mahoni, yang oleh penduduk setempat disebut Pohon Kenina.
Di pinggir jalan raya, masih tampak kepulan asap sisa bakaran kayu para pemuda yang biasa begadang, menyingsing pagi dan terlelap tidur hingga matahari raib setengah di pinggir Pantai Panjang.
Kota Bengkulu di tahun 80an ini terlihat masih asri dan di berbagai pingirian kota masih terasa aura magis sang dukun. Maklumlah, negeri ini sempat menjadi negeri yang ditakuti negeri lain pada era penjajah bercokol, karena inilah Negeri Orang-orang Rantai. Negeri buangan para terpenjara dengan kaki terantai.
Para orang tetua Negeri Bengkulu paham benar kisah itu, termasuk Idris, bujangan yang kini menginjak usia 23 Tahun. Usia yang kebanyakan masyarakat setempat, sudah memasuki masa untuk berumah tangga. Namun para gadis belum melirik Idris yang kesehariannya berkutat sebagai nelayan.
“Idriiiis… Sini sebentar”.
teriakan Emak dari balik dinding pelupuh dapur membuat Idris bergegas menghampiri Emaknya yang tampak sedang berusaha meniup api tungku dengan sepotong semprong (Alat tiup dari bambu).
“Sayo Mak…”.
“Tolong kau pergi ke Los Pasar Pantai, belikan Mak kemiri sama buah pala. Mak mau masak ikan tadi,” kata Emak
Tanpa ba bi bu, kereta angin peninggalan bapaknya langsung dikayuh Idris menuju pasar. Setengah perjalanan yang menempuh jarak 3 KM dari rumahnya, Idris berpapasan sama Yeti, teman sepermainan saat kecil dahulu.
“Yeetiii…,” panggil Idris semangat.
Jangankan kaget, menoleh pun tidak teman saat kecilnya itu. Namun cuek tidak membuat Idris kecewa, karena hal serupa acap kali diterimanya sejak dirinya beranjak dewasa dari teman-teman gadis sepermainan lainnya.
Kenapa? Mungkin pertanyaan itulah yang terlintas di benak Idris yang hari itu memang tidak melaut, karena cuaca buruk akibat angin tenggara berhembus.
Bertemu Pengemis Tua
Usai membeli keperluan Emak di Los Pasar Pantai, tak sengaja ban kereta angin Idris menyenggol pinggang seorang pria pengemis tua.
“Eh… Maaf Ncu!” tegur Idris pada pengemis tua yang biasa masyarakat Bengkulu memanggil dengan sebutan Pa’uncu.
Rupanya dari senggolan itulah perkenalan Idris dengan sang pengemis, yang belakangan baru diketahui, kalau sang pengemis tua itu dulunya merupakan orang kaya dan pujaan para gadis di zamannya. Mungkin karena kemiskinan raut mukanya tidak dikenal lagi oleh penduduk maupun teman sejawatnya.
Beberapa pelajaran hidup sempat diajarkan Pa’uncu kepada Idris hingga kebiasaan magis saat pa’uncu masih muda dahulu dalam memikat para gadis. Hanya saja sempat dipesannya untuk direnungkan.
“Sekedar bahan renungan bagi cucu! Apa yang kau lihat, apa yang engkau dengar, bahkan yang akan baca, akan tercermin di raut muka. Bahkan, apa yang engkau lihat, mungkin saja dia akan keluar berupa ucapan. Mungkin saja apa yang baca, akan keluar dalam bentuk tingkah laku,’ kata pengemis tua yang usianya kini mengijak uzur 92 tahun.
“Kalau bisa ajarkan ajian untuk pemikat gadis tu Pa’uncu”.
“Terserahlah kalau kamu ingin itu juga. Sebelum engkau cari itu burung cinta kasih di atas pohon asam, saat fajar Jumat menyinsing, maka kau hafalkan lafaz ini dulu”.
Berseri mendapat ajaran sang pengemis, hingga dirinya lupa pesanan Emak yang menunggunya di dapur rumah. Sementara obrolan mereka terus berlanjut di tepi pantai Tapak Padri yang letaknya tak seberapa jauh dari los Pasar Pantai.
“Coba mendekat dan jangan kau catat Dris,” tegus Pa’uncu pengemis.
Coba kau dengar bacaannya, kata Pa’uncu menghela nafas panjang. tapi tidak boleh kau catat. Idris hanya mengangguk dan menyimak dengan seksama.
“Hai burung cinta kasih. Bersarang di mataku, bertelur di lidahku, beranak dalam badan tubuhku. Tubuh manis terungguli manis, manis muka aku dipandang Si Anu. Siang malam petang dan pagi. Kuuuur semangat datang padaku. Cinta siang cinta malam, cinta tiada berubah lagi,” sebutnya.
Usai mendapat bacaan itu, Idris baru tersentak, teringat perintah Emak, sementara hari mulai menjelang petang. Merasa sudah paham, bergegas Idris mengayuh kereta anginnya menuju rumah.
Di rumah tak dijumpai Emaknya, yang ternyata sudah berangkat ke Musholah di daerah Kebun Ros, dimana tempat Emak biasa beribadah dan mendengarkan pengajian. Sedikit gundah takut di berang Emak, namun sedikit terobati teringat Ajian Burung Cinta Kasih yang diberikan Sang Pengemis Tua yang Idris belum tahu di mana daerah dan tempat tinggalnya.
Perubahan Hidup
Syarat dan ajian sudah dikuasai Idris. Kini banyak wanita kaya dan cantik mendekat, merapat dan dipikatnya.
Teringat pepatah orang tua Bengkulu dahulu, “Kendak bubu ikan masuk. Kendak ikan kelak dulu”. Mungkin seperti itulah alam sadar para gadis yang kini dibawah alam sadarnya.
Kini Idris sudah tidak kelihatan lagi di laut. Stelan baju bagus, sepatu sotik dikenakannya. Trik plorot harta pun digunakan Idris, dan banyak gadis dipinangnya untuki dijadikan istri. Salah satunya anak pengusaha minang sukses, yang menjadi juragan kain “takicuah di nantarang” (Dibohongi mentah-mentah) dihantam Ajian Burung Cinta Kasih.
Santero negeri ini kini mengunjingkan Idris yang kini beruang. Tampaknya kisah pengemis tua itu berulang terjadi di negeri ini.
Akankah Idris bernasib serupa pengemis? Waktulah yang akan menjawab nantinya. Apapun mau kita, memang kita bebas hidup di muka bumi ini. Tapi perlu kita ingat, “Tuhan tetaplah Tuhan, kita bukan Tuhan dan jangan bertuhankan selain Tuhan, karena kita bukan Tuhan”.
Penulis dan Jurnalis tinggal di Kota Bengkulu