Hanya matahari yang tak pernah Ingkar janji. Mungkin karena Sang Surya ini tidak memiliki hati. Tapi tak masalah, asal janji tetap janji. Karena berhatilah mangkanya jadi begini. Dendam tak sudah dibawa mati.
Seperti saat petang menjelang, aku sering duduk di persawahan Dusun Besar. Kebiasaan ini kulakukan sejak aku berumur 12 Tahun. Kini usiaku sudah memasuki 35 tahun. Pemandangan persawahan dibayangi sebuah DAM yang kini menjadi Danau, tentunya tidak seperti dahulu.
Dahulu pemandanganku jauh menuju alam khayal dan menemukan banyak ilham yang menjadi motivasi hidupku sebagai gadis tunggal, yang tegak dari keluarga miskin di Negeri Bencoolen.
“Hoi Minah , lah petang hariko.......Gigit antu kau kelak masih di sawah jugo”, teriak Lusi teman sekolah waktu SMP dahulu, mengingatkan kalau kini hari sudah petang.
“Oi Lusi........kaget aku. Hei mau kemanatu?” panggilku.
Namun suara melengkingku sedikit sengau tak didengar oleh Lusi, yang kian mengayuh kereta anginnya.
Aku segera menyusuri pematang sawah dan tak sengaja menganggu burung-burung pipit yang sedang mencari rezeki di atas tumpukan jerami, sisa panen sepekan yang lalu.
Tiap langkah melintasi pematang, aku selalu ingat dengan nama Cik Ben. Sosok yang selalu ada dan seakan mengantung di bulu mataku. Terkadang timbul suka saat mengenang waktu masih bersama. Tapi ada kalanya duka. Dendamku berkobar, serasa ingin menerkam bila sosok itu hadir didepanku. Telah lama mengering air mataku, namun dendamku tak sudah.
“Aduh.....”, sebelah kaki Minah terpeleset, hingga dirinya terjerebab di persawahan.
-------
Malam menjelang, ternyata Sang Rembulan tak tepat janji. Tidak seperti Sang Surya yang selalu menemani setiap pagi menjelang. Sosok Cik Ben mungkin seperti rembulan. Hanya itu yang aku bisa bila terpaksa mengkiaskan cintaku, rinduku saat itu.
Hembusan angin senai-senai mulai membuat dingin tangan dan kuduk ku. Sampai-sampai panggilan Emak senyap tak terdengar.
“Minah......Minah.....Masuklah nak ke dalam. Tak baik anak gadis jelang malam duduk di beranda. Kesinilah nak, minum teh sama Emak,” bujuk Emak.
Semetara Bapak tampak sibuk menyerut gagang cangkulnya yang dibuatnya siang tadi. Gagang cangkul harus selesai, karena musim tanam padi akan datang.
“Eh.....Saya Mak, Minah masuk,” bergegas aku berdiri.
Berlahan aku dekati Emak, dan menyeruput teh di gelasnya. Tampak tersunging senyuman Emak melihat aku kepanasan.
“Pelan-pelanlah nak, teh itu baru saja Emak buat”
“He he he.......Panas bibirku mak”
“Sebenarnya Emak ada yang mau diomongin sama Minah?”
“Ngomong apa Mak! Ngomong aja. Nanti Minah jawab,” kataku sembari menyebut nama kecilku di depan Emak yang di Dusun Besar dikenal sosok bertutur lemah lembut.
Dengan gontai Emak yang kini menginjak usai 70 Tahun membelai rambutku. Sempat ditariknya kepalaku agar merebah dipahanya yang kian kurus dan lembut.
“Sudah beberapa bulan terakhir ini, Emak melihat Minah tidak secerah dulu- dulu waktu ada Si Anu....Si......Siapa tu teman Minah yang sering kesini dulu?”
“Cik Ben Mak”
“Ya itu Mak Maksud. Kenapa dia ngak kelihatan lagi Nak? Apa kalian tidak berteman akrab lagi?”
“Ah Emak ini......Minah ini belum shalat Isya Mak, Minah Isya dulu ya Mak,” bergegas Minah meninggalkan bale-bale bambu tempat Emak duduk.
Pertanyaan tak dijawab, Emak tampak sumringah. Emak tampak mengeleng-gelengkan kepalanya, sembari mengambil gelas teh yang mulai hangat-hangat kuku.
-------
Usai shalat Isya, Minah segera merebahkan badannya di atas katil sembari menutupi kepalanya. Deraian air mata kembali terjadi. Ini seperti pada malam-malam sebelumnya.
Di sudut kamar, tampak sebuah buku catatan harian yang sobek sampulnya terletak. Namun buku itu rupanya lupa di tutup kembali oleh Minah. Tampak goretan tulisan yang mempuyai kekuatah roh tulisan, bila siapa saja yang membacanya.
“Dear Cik Ben. Hingga saat ini hatiku tidak dan tak akan pernah tercabik-cabik. Pergi dak datang kembali dirimu sama artinya bagiku. Bukan karena engkau renggut dan jenggut keperawananku membuat hatiku sakit, dan tangisan kerap membasahi bantalku yang ku sesali. Tidak Itu Cik Ben. Aku menangis, aku sakit, karena engkau tak tepati janji. Engkau tak seperti Sang Surya yang tak pernah ingkar janji. Tepatilah janjimu duhai pujaan dan jantung hatiku......Bila kau tak kunjung kembali, Dendamku Tak Sudah. Salamku Minah crut eng ing eng.
----------
Pagi ini di Bencoolen 1980. Mentari bersinar dengan lembutnya. Seperti biasanya, Bapak selalu menyetel radio untuk mendengarkan berita dan lagu-lagu Keroncong Stambul.
Tapi ada sedikit ganjil, saat Minah melihat beberapa tetangga sudah bertandang dan membawa berbagai peralatan. Baru akan ditanyakan sama Emak, jari telunjuk emak yang kecil menutupi bibir Minah yang merah merona.
“Yang penting Emak mau Minah bahagia. Emak enggak mau Minah sedih. Emak tahu kalau kamu sering nangis kalau malam. Sudahlah........ya....” kata Emak dengan suara lembut.
Sambil mendekap erat tubuh Minah, Emak berbisik kalau minah akan ada yang melamar siang nanti. Lelakinya orang Arab ganteng bertubuh tinggi 196 Centimeter.
Mendengar itu, serasa petir menyambar, Minah merasa lemas dan tubuhnya bergetar dasyat. Bukannya cemas lantaran ukuran tinggi lelaki itu, jaraknya satu meter lebih bedanya dari tinggi dirinya.
“Aduh gimana ini Tuhan.....” kata Minah dalam hati.
Akhirnya sebagai anak yang taat dan sayang kepada orangtuanya, lamaran lelaki asal Arabia itu diterima Minah. Hari perkawinan langsung ditentukan dalam bulan Agustus ini juga. Deraian air mata Minah tak henti-hentinya menangis. Tampak beberapa kali Minah pingsan, menghadapi perkawinan dan rahasia dalam hidupnya.
-------
Perkawinan berlangsung meriah dengan acara adat istiadat kedua belah pihak. Dari atas pelaminan, mata Minah tampak liar. Terpikir dibenaknya bila tiba-tiba jantung hati dan cintanya itu, Cik Ben hadir dalam acaranya.
Kekuatirannya pupus. Malam pertama, hanya pasrah kepada Tuhan saja yang dapat dilakukannya. Apapun yang terjadi saat eng ing eng, maka dirinya sudah siap lahir batin.
Ternyata ‘rezeki anak soleha’. Tak ada koment dari suaminya Sang Arab malam itu, kecuali gelitikkan sayang dan beberapa kecupan.
Menggal menggol geal geol tampak saat fajar, Minah berjalan saat akan menyiapkan teh dan roti buat suaminya menuju dapur. Entah mengapa dan dan kenapa, yang jelas Emak dan Bapak juga tidak berkomentar.
Mengunakan delman milik tetangga, suami istri dari pagi turun rumah berjalan-jalan melihat areal persawahan dan danau. Perjalan mengenalkan Negeri Bencoolen pada suaminya hingga sempat terhenti di Dusun Suko Merindu.
Seorang teman mainnya saat kecil, menyapa Minah dan membisikan cerita tentang Cik Ben yang kini sudah menikah dengan gadis Arab. Tampak perubahan di raut muka Minah. Untung saja saat itu, suaminya lagi terpesona melihat rumah panggung penduduk, yang mungkin tidak ada di negerinya, Arab Saudi.
Segera ditinggalkannya teman kecilnya. Di rangkulnya tangan suaminya. Dengan sedikit isyarat, akhirnya mereka bergegas pulang kerumah.
“Hari sudah mau hujan”, kata Minah sambil menunjukan isyaratnya.
Suaminya tampak menganggukan kepalanya.
Setibanya dirumah, mata Minah mulai berkaca-kaca. Diambilnya catatan harian yang disimpannya di kardus dalam gudang.
“Aku tetap dan tetap. Hatiku tetap tidak sakit walau banyak yang engkau renggut dariku. Tapi aku tetap ingat seumur hidupku soal janjimu. Dendam Tak Sudah,” tulis Minah.