Tanggal 30 April 2017 malam, sekitar pukul 23.00 WITA, lagu “Darah Juang” berkumandang di Asrama Haji Tuminting kota Manado. Disusul pekik “Hidup Mahasiswa” dan “Hidup Rakyat” bersahut-sahutan.
Malam itu, 300-an anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) baru saja menyelesaikan seluruh agenda kongres. Tidak hanya berhasil merumuskan program dan arah baru organisasi, Kongres LMND ke-7 juga berhasil menunjuk nahkoda baru.
Nahkoda barunya seorang srikandi dari timur. Namanya: Indrayani Abdul Razak.
“Saya ingin LMND semakin maju, ilmiah dan berbasis massa,” kata Indah, sapaan akrabnya, saat memaparkan visi-misi sebagai Calon Ketua Umum di Kongres malam itu.
Indah bukan perempuan pertama yang memimpin organisasi mahasiwa yang lahir 9-12 Juli 1999 ini. Pada periode sebelumnya, 2014-2017, LMND dipimpin oleh Vivin Sriwahyuni. Artinya, meski baru berusia 18 tahun, LMND sudah dua kali dipimpin oleh perempuan. Bravo!
***
Indah lahir di Morowali, Sulawesi Tengah, pada 17 Juni 1992. Anak kedua dari tiga bersaudara ini menghabiskan masa kecil di kampung halaman. Hingga, memasuki jenjang sekolah menengah atas, dia merantau ke Kendari, Sulawesi Tenggara, untuk menimbah ilmu di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kendari.
Tahun 2010, dia mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad). Begitu menginjak kaki di Universitas, naluri berorganisasinya langsung bersemi.
“Awalnya saya mencari organisasi yang konsen pada isu pendidikan. Kebetulan saya jurnalis yang ditugaskan untuk meliput isu pendidikan itu,” kenangnya.
Hingga, pada suatu hari, dia bertemu dengan aktivis LMND di acara sebuah paguyuban mahasiswa. Siapa sangka, pertemuan itulah yang mengantarkannya bergabung dengan organisasi berlambang bintang kuning, gerigi, buku dan tangan terkepal itu.
“Saya tertarik dengan ide dan gagasan mereka yang maju,” tuturnya.
Karir Indah cepat berkembang. Setahun kemudian, dia sudah ditunjuk sebagai Sekretaris Eksekutif Kota LMND Kota Palu—struktur setingkat Kota/Kabupaten.
Disamping LMND, dia juga ikut menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Untad. Juga pernah memimpin lembaga pers mahasiswa (LPM) Fisip Untad di tahun 2012-2013.
Meski namanya cepat bersinar, bukan berarti Indah tidak bersentuhan dengan pengorganisasian. Di tahun 2013, dia diberi tugas mengorganisir perempuan di Fakultasnya. Tugas itu dikerjakan dengan baik: 20-an perempuan berhasil dihimpun dalam wadah bernama Perempuan Rebut Demokrasi (Parade).
Dia juga berkali-kali terlibat dalam advokasi buruh dan petani di sejumlah kabupaten di Sulteng.
Di tahun 2014, Indah ditunjuk sebagai Sekretaris Eksekutif Wilayah LMND Sulteng. Dia memegang posisi ini hingga menjelang Kongres LMND ke-7 lalu.
***
Sebetulnya, sebelum Kongres ke-7 dihelat, Indah belum punya keinginan untuk menjadi Ketua Umum LMND.
“Kalaupun harus ke Jakarta (Eksekutif Nasional), cukup jadi salah satu pengurusnya saja,” ujarnya.
Namun, karena dorongan kawan-kawan sekolektifnya (sesama anggota LMND di Sulteng), dia menyatakan kesiapan untuk mengisi bursa Calon Ketua Umum di Kongres LMND.
“Motivasi saya bukan karena berburu posisi strategis, tetapi keinginan melanjutkan kepemimpinan perempuan di LMND. Saya ingin buktikan bahwa perempuan adalah pemimpin yang ulung,” terangnya.
Disamping itu, lanjut dia, dia menyimpang visi besar untuk memajukan LMND ke depan. Visi besar itulah yang coba dirumuskan Indah dalam pidato visi-misi: menjadikan LMND sebagai organisasi yang maju, ilmiah dan berbasis massa.
Visi itu, ujar pengagum Tan Malaka ini, bukan hanya buah kegelisahan dia terhadap LMND, tetapi terhadap gerakan mahasiswa secara umum.
Di mata perempuan berusia 25 tahun ini, gerakan mahasiswa sekarang ini sedang surut. Tidak hanya mobilisasi yang menurun, tetapi ide-idenya pun ikut surut.
“Memang aktivisme itu masih, tetapi gaungnya kecil. Itupun hanya melibatkan sedikit mahasiswa. Sumbangsih gagasannya pun kurang mempengaruhi politik nasional,” paparnya.
Indah menjelaskan, ada problem struktural yang turut menyebabkan surutnya gerakan mahasiswa, yakni perubahan komposisi sosial di kampus seiring dengan liberalisasi pendidikan yang menerjang kampus-kampus negeri.
Dahulu, kata Indah, kampus masih bisa diakses oleh kalangan menengah ke bawah, terutama anak buruh dan petani. Tetapi sekarang, seiring dengan membengkaknya biaya pendidikan akibat komoditifikasi pendidikan, universitas hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas.
Sudah begitu, lanjut Indah, neoliberalisme pendidikan menuntut pemberlakuan disiplin ala pasar. Dalam konteks itu, ujar dia, mahasiswa berusaha dijauhkan dari segala yang berbau pergerakan maupun pikiran-pikiran radikal.
“Kampus tak ubahnya pabrik yang memproduksi manusia-manusia patuh, yang siap dilempar ke pasar tenaga kerja. Menjadi tenaga kerja yang patuh,” ujar perempuan berkacamata ini.
Ditambah lagi, papar Indah, gerakan mahasiswa yang mengecil tidak berhasil menemukan format baru yang sesuai dengan realitas kampus saat ini. Sudah begitu, gerakan yang kecil ini kerap dicekoki oleh bujuk-rayu pragmatisme.
“Lebih naas lagi, kendati sudah kecil, respon gerakan mahasiswa terhadap situasi terkadang bersifat sporadis, lokalis, dan kelihatan bimbang dalam menemukan pijakan bersama,” paparnya.
Lantas, bagaimana LMND menyikapi situasi itu?
Dalam visi Indah, LMND kedepan harus kembali ke kampus, membangun basis massa. LMND harus bisa menghidupkan kembali panggung-panggung pergerakan yang sudah lama meredup di kampus-kampus.
“Kader LMND harus berpikir maju, yakni bisa membaca keadaan dan menyesuaiakan diri dengan perkembangan zaman. Dengan begitu mereka bisa merumuskan pola-pola pengorganisiran yang tepat dengan situasi hari ini,” jelasnya.
Dia menyakinkan, kader-kader LMND harus menemukan metode pengorganisiran yang tepat sesuai keadaan kampus saat ini. Disamping kampanye program yang benar-benar mewakili kegelisahan umum mahasiswa saat ini.
“Yang penting juga, kita harus melek teknologi. Maksudnya, bisa menggunakan teknologi untuk mendesain bentuk-bentuk propaganda yang kreatif,” paparnya.
Indah kemudian merujuk pada pergerakan mahasiswa Chile, yang mengguncang dunia pada 2011 lalu, dengan tokohnya seorang perempuan juga: Camila Vallejo. Mulai dari aksi yang kreatif, kampanye massif di media sosial, hingga penggunaan teknologi untuk menyebarluaskan pesan perjuangan mahasiswa.
Dia juga ingin kader-kader LMND kembali ke khittahnya sebagai insan akademia: berpikir ilmiah. Untuk mewujudkan visi ini, dia bertekad menghidupkan riset-riset dan kajian.
“Kami ingin semua argumentasi LMND, baik berupa pernyataan sikap maupun bacaan-bacaan kampanye, didukung oleh data-data,” terangnya.
Tentu saja, untuk mewujudkan visi besarnya itu, Indah tidak bisa sendirian. Dia kini berharap besar dari dukungan dan sokongan kolektifnya di LMND, baik di Eksekutif Nasional, Eksekutif Wilayah, Eksekutif Kota, hingga Komisariat.
Semoga, di bawah nahkoda Indah, pergerakan mahasiswa menemukan titik baliknya. Setidaknya titik balik bagi LMND untuk kembali mewarnai pergerakan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Semoga! [Mahesa Danu/Berdikari Online]