Tanggal 17 Agustus 2017 ini Kemerdekaan Indonesia telah berusia 72 tahun. Banyak kemajuan yang telah dicapai sebagai buah dari kemerdekaan tersebut. Tapi ada suatu kemunduran yang masih belum sanggup ditutupi oleh generasi sekarang, yaitu, dalam hal pemikiran politik.
Bila ditelisik, kemunduran pemikiran ini terjadi sejak berkuasanya orde baru, yang menurut kawan saya AJ Susmana, telah menciptakan ketimpangan filsafat yang sangat parah dengan mematikan filsafat materialisme sebagai tandingan dari filsafat idealisme.
Tulisan ini tidak hendak mengevaluasi lebih jauh tentang kemunduran pemikiran politik dimaksud, tapi sekedar menghadirkan kembali beberapa pemikiran progresif yang lahir dan kemudian menjadi kesepakatan sebagai fondasi maupun pilar kebangsaan.
Pemikiran-pemikiran progresif ini tidak lepas dari dari praktis politik dan pergulatan teoritis dengan berbagai gagasan dunia seperti demokrasi dan sosialisme. Salah satu yang sangat penting adalah marxisme sebagai ilmu sosial yang menjadi “bacaan wajib” bagi hampir seluruh pejuang kemerdekaan di zaman itu; Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Ki Hajar Dewantara dan lain-lain. Ironinya, bacaan wajib yang telah berkontribusi memerdekakan republik ini justeru menjadi terlarang sejak orde baru berkuasa dan masih dianggap tabu hingga kini.
Yang dimaksud dengan pemikiran progresif di sini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai proses dan cara berpikir yang mencita-citakan perubahan sosial ke arah yang lebih maju, lebih adil dan lebih manusiawi. Berikut ini tiga di antara banyak pemikiran progresif para pendiri bangsa yang kami maksud.
Pertama, Negara Indonesia berbentuk Republik
Bentuk negara republik menjadi pembahasan dan kemudian diputuskan dalam sidang BPUPKI menjelang proklamasi kemerdekaan. Dalam sidang tersebut masih sempat terjadi perdebatan apakah akan menggunakan bentuk republik atau bentuk lain seperti monarki. Pada kesempatan itu dilakukan pemungutan suara secara tertutup dengan hasil 55 suara memilih republik, 6 suara kerajaan, lain-lain 2 dan 1 suara abstain.
Jauh sebelum sidang BPUPKI ini, dalam berbagai kesempatan gagasan tentang republik telah mengemuka. Di tahun 1925, pimpinan Partai Komunis Indonesia, Tan Malaka, menuliskan sebuah risalah berjudul “Menuju Republik Indonesia” yang antara lain berisi program-program ekonomi dan politik bagi Indonesia merdeka. Tan Malaka mengambil revolusi Prancis yang menjatuhkan monarki sebagai referensi pendirian republik. Di tahun 1920 istilah “republik” juga telah dikemukakan oleh Haji Misbach dengan menyitir perubahan yang terjadi di Austria dalam pidatonya di Solo.
Sementara menurut catatan Bung Karno, kesepakatan untuk mendirikan Indonesia yang berbentuk republik telah dicapai oleh kalangan pergerakan di tahun 1933. Belum begitu jelas bagi penulis, dalam forum apa kah kesepaktan tersebut dicapai. Namun berdasarkan riwayat pergerakan yang hidup saat itu dapat diperkirakan bahwa kesepakatan tersebut dicapai antara Parttindo yang dipimpin Sukarno dan PNI Baru yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Penting diingat bahwa pemaknaan atas Indonesia merdeka yang berbentuk “republik” ini tidak terbatas karena penolakan atas bentuk kerajaan atau monarki. Para pendiri bangsa memahami bahwa republik mempunyai makna yang luas, yaitu menguatamakan kepentingan umum, bukan kepentingan individu atau golongan. Ki Bagoes Hadikoesomo, pimpinan BPUPKI, menjelaskan republik sebagai “Daulat Rakyat”. Hal ini ditegaskan kembali oleh Bung Karno ketika membuka sidang Konstituante melalui pidatonya yang berjudul Susunlah Konstitusi Yang Benar-Benar Konstitusi Res Publica. Di sini Bung Karno mencontohkan banyak negara menggunakan kata “republik” tetapi kosong dalam hal kepentingan umum. Kepentingan yang dibela oleh “republik-republik” tersebut hanyalah kepentingan satu golongan kelas sosial, atau hanya menjadi res-publica di lapangan politik sementara tidak ber-res-publica di lapangan ekonomi, sosial dan budaya.
Republik sebagai pilar ini seringkali dilupakan ketika kita bicara tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tekanan pada bentuk “Kesatuan” seolah menegasikan kehadiran “Republik” sebagai perkara yang lebih pokok . Mengapa dikatakan lebih pokok? Karena penegasan tentang bentuk “Kesatuan” hanyalah suatu perlawanan terhadap bentuk federalisme Republik Indonesia Serikat (RIS) di tahun 1950 yang disepakati dalam Konferensi Meja Bundar.
Kedua, Kesetaraan warga negara
Bentuk republik membawa konsekuensi pada kesetaraan antar warga negara tanpa memandang suku, agama, ras dan jenis kelamin. Namun persoalan kesetaraan antar jenis kelamin mempunyai arti penting sendiri mengingat fase pergerakan perempuan di banyak negara saat itu belum mencapai kemajuan seperti yang dialami Indonesia. Bahkan Amerika Serikat, sebagai kampiunnya liberalisme, baru memberikan hak kesetaraan penuh kepada perempuan di tahun 1960-an.
Sebagaimana gagasan tentang republik, ide kesetaraan memiliki riwayat tersendiri yang dapat ditelusuri pada keberadaan figur-figur penting perempuan Indonesia hingga pergerakan yang dilakukan. Figur Kartini diakui oleh kalangan pergerakan nasional sebagai “ibu” dari gagasan Indonesia modern yang tidak hanya setara secara gender tapi juga anti-feodalisme dan anti-kolonialisme. Selanjutnya terdapat banyak figur perempuan dari berbagai daerah yang memiliki peran penting dalam kerja-kerja emansipasi dan pemajuan kaum perempuan. Di tahun 1928 telah terjadi Kongres Perempuan Indonesia pertama yang menjadi tonggak bagi konsolidasi gerakan perempuan selanjutnya hingga masa kemerdekaan.
Ide kesetaraan ini juga menginspirasi figur lelaki dalam pergerakan seperti Bung Karno dan H. Agus Salim hingga mereka berani melakukan konfrontasi terhadap tradisi keagamaan yang dianggap merendahkan kaum perempuan. Bung Karno pernah meninggalkan rapat umum sebuah organisasi keagamaan di Bengkulu sebagai bentuk protes atas pengenaan tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, seperti dikisahkan Bung Karno dalam Panji Islam tahun 1939, H. Agus Salim pernah melakukan tindakan yang lebih berani dengan merobek tabir tersebut dalam sebuah rapat umum. Menurut mereka, tabir pemisah laki-laki dan perempuan bukanlah perintah agama melainkan interpretasi agama yang diterapkan secara keliru.
Gagasan kesetaraan ini secara resmi termuat dalam Konstitusi negara yang dirumuskan oleh BPUPKI. Pada periode awal pembentukan pemerintahan sejumlah perempuan telah ambil bagian sebagai pejabat tinggi negara seperti Mari Ulfa Santoso, SK Trimurti dan Suyatin Kartowiyono.
Ketiga, Sosialisme Indonesia
Ada berbagai varian pemikiran sosialisme yang berkembang dalam gerakan kebangsaan Indonesia. Bermula dari interaksi antara pergerakan Serikat Islam dengan ISDV sebelum 1920 gagasan tentang sosialisme tampaknya sulit dibendung. ISDV yang akhirnya bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia mengedepankan gagasan sosialisme berbasis pemikiran Marx dan Lenin. Sementara tokoh Serikat Islam, HOS Cokroaminoto, berupaya mengembangkan ide sosialisme religius sebagai tandingannya. Di luar itu terdapat pula pemikiran sosialistis yang lebih moderat dibandingkan komunisme seperti sosial demokrasi serta tradisi kolektivisme yang sempat menjadi gerakan seperti Samin di Jawa Tengah.
Sebagaimana disebutkan pada awal tulisan di atas, hampir semua tokoh pendiri bangsa bergelut dengan gagasan marxisme. Gagasan marxisme ini, menurut Bung Karno, adalah “satu-satunya teori yang kompeten buat memecahkan soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan”. Dengan pisau analisa inilah, para pendiri bangsa bermufakat bahwa penjajahan dunia Barat atas belahan dunia lain terutama berlandaskan pada motif ekonomi bukan motif budaya atau sekedar gagah-gagahan. Lebih tajam lagi disimpulkan bahwa kapitalisme Eropa lah yang paling berkepentingan untuk mengekalkan penjajahan.
Atas kesimpulan ini maka perjuangan anti penjajahan yang berkembang di Indonesia tidak pernah dipisahkan dari gagasan anti-kapitalisme. George McTurnan Kahin dalam bukunya “Nasionalisme dan Revolusi Indonesia” mengatakan bahwa bagi kaum pergerakan kapitalisme setali tiga uang dengan imperialisme, dan kebencian terhadap imperialisme secara alamiah memunculkan kebencian terhadap kapitalisme.
Pembuktian akan hal ini dapat dilihat dalam rumusan dasar negara Pancasila yang memasukkan sila Keadilan Sosial, serta Pasal 33 UUD 1945 yang bercorak sosialistis. Bila sila Keadilan Sosial masih dinilai abstrak dalam perwujudan sosialisme maka Pasal 33 UUD 1945 telah mengkonkritkannya. Pasal ini sangat jauh dari semangat liberalisme yang membiarkan penguasaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi orang banyak di tangan perorangan.
Bung Hatta sendiri berpendapat bahwa sosialisme telah kuat berakar dalam masyarakat Indonesia. Tiga akar dari sosialisme Indonesia tersebut adalah pertama, literatur sosialis dari Barat, terutama ajaran marxisme yang berkembang sejak awal gerakan kemerdekaan; kedua, ajaran Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan dan keadilan sosial; serta ketiga, adalah semangat kolektivisme atau gotong royong yang telah lama menjadi tradisi bangsa Indonesia.
Seperti dikatakan di atas, tidak hanya tiga pemikiran progresif ini yang dilahirkan para pendiri bangsa. Banyak lagi yang belum disampaikan di sini, seperti dalam bidang pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, di bidang kemiliteran oleh Amir Sjarifuddin, serta pemikiran-pemikiran politik Bung Karno yang sejauh ini boleh dikatakan masih yang paling maju dan paling komprehensif tanpa mengecilkan pemikiran tokoh-tokoh nasional lainnya. Salah satu yang terpenting dari pemikiran Bung Karno adalah Pancasila.
Pada akhirnya, kenyataan sejarah ini menantang generasi politik sekarang dan di masa depan untuk dapat mempelajari lebih dalam pemikiran-pemikiran tersebut beserta sumber-sumbernya sehingga dapat memecahkan persoalan-persoalan bangsa yang diwariskan oleh orde baru. Tanpa usaha tersebut maka politik Indonesia tidak akan keluar dari kungkungan kebodohan, keterbelakangan dan tidak beradab. [Dominggus Oktavianus/Berdikari Online]