Bapak berjalan menuju kamar mandi di belakang rumah, sebenarnya tidak layak disebut kamar mandi, hanya dua buah drum besar yang ditutup dengan seng bekas sekelilingnya. Tak lama kemudian bapak keluar dengan sarung menyelimuti tubuhnya. Dia berhenti sejenak di sebelahku yang sedang membuatkan kopi untuk bapak.
“Ibumu mana Ris?” tanya bapak pelan.
“Ke pasar Pak, beli bahan untuk jualan besok,” jawabku sambil meletakkan kopi yang baru aku seduh di atas meja dekat televise empat belas inci yang gambarnya sering hilang. Kalau tidak dipukul-pukul, kadang-kadang gambarnya tidak mau normal.
“Ris!” teriak bapak dari dalam kamar. Aku langsung masuk ke kamar, bapak sedang berbaring dengan diselimuti sarung.
“Belikan Bapak puyer,” katanya sambil memberikan aku uang kertas nominal seribu rupiah.
Aku langsung mengambil uang yang diserahkan bapak, ambil payung dan lari ke warung.
Dua bungkus puyer bergambar macan aku belikan untuk bapak. Puyer inilah yang sering bapak minum kalau merasa demam atau sakit gigi, selama puluhan tahun puyer bergambar macan itu selalu ada di kantong bapak atau di tas yang ada di belakang jok becak. Aku juga kadang minum puyer itu kalau sedang kena demam atau gusiku sedang bengkak, asam-asam pahit rasanya.
Sampai di rumah langsung aku seduh puyer itu dengan seperempat gelas air panas, aku aduk dengan sendok, lalu aku berikan kepada bapak yang sedang berusaha bangkit untuk duduk.
“Badan bapak panas,” kataku sambil mengurut betisnya. Betis bapak cukup keras dengan otot-otot yang menonjol, khas betis orang yang sering mengayuh becak.
“Iya Ris, agak meriang, tolong selimuti Bapak ya, yang tebal, biar keluar keringat,” ujar bapak sambil membaringkan tubuh, menyelimuti tubuhnya dengan sarung.
Aku tambah selimut di atasnya, kemudian kiri dan kanan tubuhnya aku beri bantal. Seperti itulah biasanya kalau bapak sedang merasa tidak enak badan, minum puyer kemudian tidur dengan badan diselubungi sarung dan selimut tebal. Beberapa jam kemudian bapak akan bangun dengan tubuh penuh keringat dan merasa segar lagi.
***
Bapak tidak narik becak lagi, bukan karena sudah tua dan tak punya tenaga, tapi kami, anak-anaknya yang melarang bapak narik becak. Kami ingin bapak istirahat, bermain dengan cucu-cucu dan mengisi waktu tuanya dengan kegiatan yang ringan. Bapak dan ibu tinggal bersama kakakku yang paling tua. Ibu juga tidak jualan di kantin lagi. Kami sudah bekerja semua, sudah bisa mencukupi kebutuhan bapak dan ibu, walaupun dengan gotong royong. Tapi kadang-kadang bapak bandel, diam-diam di dorong becaknya, kemudian mangkal di Simpang Lima. Tempat bapak biasanya mangkal waktu masih menarik becak.
Adikku yang bungsu biasanya yang paling marah kalau tahu bapak masih narik becak. Malu katanya, malu melihat bapaknya narik becak, sedangkan anak-anaknya sudah bekerja semua, ada yang sudah jadi dosen dan ada yang punya usaha sendiri. Apalagi usia bapak juga semakin tua.
“Bapak cuma ingin kumpul sama teman-teman Bapak kok,” kata bapak saat adikku protes karena bapak kepergok mangkal di Simpang Lima oleh adik bungsuku. Bapak benar-benar tidak narik becak lagi ketika becaknya dijual adik bungsuku.
Bapak mulai sering sakit-sakitan, kakakku membawa bapak ke klinik langganan, hasil pemeriksaan membuat bapak harus menghindari obat-obat pasaran, yang boleh diminum adalah obat dari resep dokter. Tapi bapak, lagi-lagi bandel, diam-diam membeli sendiri puyer bergambar macan, obat kesayangannya secara diam-diam dan dia minum saat dia merasa tak enak badan. Ibu sering melakukan sweping atau razia, ibu geledah setiap tempat yang diduga jadi tempat penyimpanan puyer persediaan bapak, ibu tahu dan sangat paham, bapak kalau beli puyer pasti dalam jumlah banyak, serenteng istilah ibuku.
Aku dan istriku serta dua anakku mengontrak tak jauh dari rumah kakak tertuaku jadi bisa sedikit tahu keadaan bapak dan ibu, apa lagi ibu sering memintaku untuk datang ke rumah kakakku kalau ibu sedang tak enak badan, biasa, minta urut.
***
Aku sedang membereskan rumahku yang berantakan karena ulah anak-anaku, kalau bermain bisa membuat rumah seperti kapal yang sedang karam dan terombag-ambing di tengah gelombang.
Sayup-sayup terdengar namaku dipanggil dari luar rumah, kuletakkan sapu ijuk yang sedang aku pakai.
“Ris, ada telpon dari kakakmu, katanya bapakmu sedang sakit, kamu di suruh pergi ke sana,” kata Hamid memberikan kabar padaku.
Aku memang belum punya handphone, jadi kalau ada apa-apa atau ada kabar yang penting, saudara-saudaraku menelpon ke rumah Hamid, orang yang mempunyai rumah kontrakan yang aku tempati. Aku segera bergegas ke rumah kakak tertuaku dengan naik angkot.
Begitu sampai di rumah kakakku, kulihat bapak sedang duduk di kursi rotan yang ada di teras.
“Bapak kok duduk di luar, katanya sakit?” tegurku pelan.
Ku lihat ibuku keluar sambil membawa segelas teh hangat, kemudian teh itu diberikan kepada bapak, bapak dengan berlahan mendekatkan gelas ke mulutnya, dan menyeruput teh dengan dua kali seruputan.
“Ya Ris, tadi Bapakmu sesak nafas dan badannya lemas gak punya tenaga, tapi setelah minum obat yang ditebus di apotik, lumayanlah,” kata ibuku.
Kemudian ibu masuk ke dalam.
“Ris, belikan Bapak puyer,” kata bapakku pelan, setengah berbisik. Tiba-tiba ibu keluar.
“Jangan Ris, kata dokter bapakmu tidak boleh minum puyer lagi, bahaya untuk jantungnya,” sergah ibuku tiba-tiba.
Aku yang hendak berbalik dan berjalan untuk membeli puyer dengan reflex menghentikan langkah, dan memandang kearah bapak. Bapak hanya terdiam dan bergumam pelan namun terdengar jelas oleh ibu.
“Yang terakhir saja, ini puyer yang terakhir, setelah itu tidak akan minum puyer lagi,” gumam bapak, tapi ibu tetap menggeleng.
Kemudian aku meminta bapak masuk ke dalam, berbaring di ranjangnya, melihat kondisi bapak yang sudah agak mendingan aku pamit pulang, mau meneruskan pekerjaan membersihkan rumah yang sempat tertunda. Istri dan anakku ada di rumah kakakku juga, istri dan anakku memang sejak pagi sudah datang. Mereka sedang sibuk di dapur bersama kakak iparku.
Sampai di rumah kontrakan, aku melanjutkan lagi kegiatan bersih-bersih kemudian mengisi air bak mandi, sekalian mandi sore. Baru saja aku selesai mandi, aku dengar ada yang mengetuk pintu depan. Aku segera memakai celana panjang dan kaos oblong, kemudian membuka pintu. Ku lihat ada Hamid di depan pintu.
“Ris, cepat ke rumah kakakmu, Bapakmu sedang kritis,” kata Hamid dengan wajah cemas dan nafas agak tersengal.
Rasa kaget tak bisa kusembunyikan.
Bukankah sejam yang lalu bapak sudah mendingan kondisinya. Segera aku tutup pintu dan menggemboknya. Dengan tanda tanya berkecamuk di kepala aku menunggu angkot. Kurasakan angkot begitu pelan dan lama hingga perasaan cemas semakin tak menentu.
Sampai di rumah kakakku, aku disambut istriku, wajahnya sangat cemas, ada butiran air di sudut matanya. Aku segera ke kamar bapak, di kamar sudah ada kakak-kakakku, adik bungsuku dan ibu. Bapak terbaring dengan mata terpejam nafasnya terlihat pelan dan satu-satu. Kakak tertuaku sedang membisikkan kalimat tauhid di telinga Bapak. Aku mendekat dan mengelus kening bapak.
“Pak, ini Aris sudah datang,” ujar ibuku pelan, dekat sekali dengan telinga bapak.
Bapak membuka mata sedikit, kemudian mengambil nafas panjang dengan badan sedikit terangkat, kemudian tubuhnya rebah dengan pelan, karena ditopang tangan kakakku. Terdengar isak tangis yang hampir bersamaan dari kakak dan adik bungsuku, bahkan adik bungsuku menjerit histeris memanggil-manggil bapak.
“Inna Lillahi wa Inna Ilahi Rojiuun, Bapak sudah sampai takdirnya,” kata kakak tertuaku pelan, sambil mencium kening Bapak.
Aku hanya tertegun dan tak mampu membendung air mata, aku tak pernah mengira, ucapan tentang puyer terakhir itu sebagai pertanda.
Elvi Ansori. Bengkulu 3 Mei 2005
Foto National Geographic