Akhirnya aku tutup rooling door separuh. Agar etalaseku tidak kena tempias air hujan.
Kulihat ke gerbang kampus di depan tokoku, kendaraan roda dua maupun empat banyak yang keluar dari pintu gerbang kampus. Tampaknya jam kuliah sudah berakhir.
Aku sedang membereskan pekerjaanku ketika aku dengar suara kendaraan roda dua berhenti didepan tokoku.
Seorang anak muda yang aku sudah kenal, salah seorang konsumenku, sering ngeprint, foto kopi maupun scan. Dia bersama seorang laki-laki yang sudah cukup tua, terlihat dari kerut dan guratan di wajahnya.
“Titip motor sebentar mas,” kata Aris, mahasiswa yang memarkirkan sepeda motornya di depan toko.
Lalu dia berjalan diikuti laki-laki tadi, duduk dibangku panjang di teras toko.
“Saya mau ke warnet sebelah Mas, ini bapak saya dari desa,” kata Aris lagi.
Lalu aku hampiri bapak itu setelah kulihat Aris melangkah masuk ke warnet yang berada tepat di sebelah tempat usahaku.
Aku jabat tangan bapak itu, lalu duduk di sebelahnya.
“Kapan datang Pak?” tanyaku mencoba mengakrabkan diri.
“Kemarin,” kata bapaknya Aris sambil menutup resleting jaketnya, tampaknya mulai kedinginan, karena hujan makin deras.
“Aris sudah semester delapan ya Pak?” tanyaku menebak, karena sudah hampir empat tahun aku kenal Aris dan menjadi pelanggan setiaku.
“Ya Nak, Bapak bangga, nilai Aris tinggi-tinggi setiap semester, dia anak sulung Bapak,” kata bapak itu sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Ada rona bahagia dan puas terpancar di wajahnya.
“Bapak baru pertama kali ini kesini, ingin melihat tempat kost dan kampus Aris,” katanya lagi sambil melihat arloji di tangannya.
“Bapak lagi nunggu travel, mau pulang sore ini,” katanya lagi.
“Oo, berapa jam perjalanan ke desa Bapak?” tanyaku.
“Kalau berangkat jam empat sore ini, sampainya jam lima subuh besok Nak,” jawabnya.
Aku mengangguk- anguk, jauh juga ya, pikirku. Kulihat ada mobil Avanza yang berhenti dan membunyikan klakson. Bersamaan dengan itu Aris keluar dari warnet.
“Travelnya sudah datang!” kata bapak itu sambil berdiri. Dia mengangguk dan tersenyum ke arahku.
“Mari Mas,” kata Aris sambil menuntun bapaknya berjalan menuju kendaraan travel.
Setelah bapaknya naik dan mobil berjalan, Aris langsung tancap gas dengan sepeda motornya, menghilang di tikungan jalan.
*****
Dua Tahun Kemudian.
Suatu sore, hujan cukup deras mengguyur kota Bengkulu, aku sedang mendorong etalase, lebih ke dalam lagi, agar tidak kena tempiyas air hujan. Aku lihat seorang bapak dari seberang jalan berlari menuju ke arah percetakanku, berteduh di depan percetakanku.
Kebetulan di depan percetakan ada bangku panjang. Bapak itu sudah cukup tua, mungkin diatas 60 tahun umurnya. Dia tampak mengibas-ngibaskan tangan ke bajunya, menghapus sisa-sisa air hujan yang menempel.
"Numpang berteduh ya nak," kata bapak itu sambil meletakkan tas yang sudah agak lusuh ke bangku panjang.
"Masuk ke dalam saja Pak. Diteras masih kena hujan," kataku sambil mendekati bapak itu.
"Gak usah, di sini saja," tolaknya pelan.
Namun setelah aku paksa dan hujan makin deras, akhirnya bapak itu mau juga masuk ke dalam toko.
Ia duduk di kursi tempat biasanya konsumen duduk saat ngeprint.
Aku meneruskan pekerjaan, sambil sesekali memperhatikan bapak itu. Keriput di wajahnya terlihat jelas.
Kulihat kadang-kadang dia menghela nafas panjang dan terlihat jelas rona kesedihan yang teramat dalam.
"Bapak, saya buatkan kopi ya?" kataku sambil menghentikan pekerjaan. Bapak itu menggeleng.
"Gak usah Nak, gak usah repot-repot."
"Tak apa-apa Pak, saya buatkan ya. Saya mau ngopi juga masalahnya," kataku sambil berjalan ke belakang.
Aku buat kopi dua gelas. Aku bawa ke depan. Aku letakkan di meja, dihadapan bapak tadi.
Bapak tadi hanya tersenyum kecil.
"Makasih ya Nak, jadi merepotkan."
Perasaan aku pernah lihat dan kenal dengan wajah bapak ini. Duh…! Aku tepuk jidat. Bapak inikan bapaknya Aris. Yang sekitar dua tahun lalu pernah menunggu travel di sini.
“Bapak ini…., Bapaknya Aris kan?”
Bapak itu mengangguk. “Masih ingat ya Nak?” ujar bapak itu pelan.
"Bapak dari mana? tanyaku.
"Dari dalam...., tadi ketemu dosennya anakku."
"Kecewa sekali saya Nak..., kecewa sekali, sedih dan hancur hati bapak," kata Bapak itu sambil sesekali menghela nafas panjang. Membuang sesak dan beban di dada.
Akhirnya, tanpa diminta, Bapak itu bercerita.
"Bapak dari kampung, nak, jauh..., Lubuk Linggau masuk dalam lagi. Anak sulung Bapak kuliah di sini. Bapak bangga dia bisa lulus tes, karena di kampung cuma beberapa orang saja yang bisa kuliah.”
“Betul sekali Pak, setiap orang tua pasti bahagia dan bangga kalau anaknya bisa kuliah,” sambungku.
“Lebih bangga lagi kalau dia pulang kampung selalu bawa nilai-nilai bagus, akhirnya waktu dia minta sepeda motor, bapak langsung jual sebagian tanah untuk membelikan dia sepeda motor. Bapak senang dan bangga karena nilainya rata-rata A dan B.”
Aku mengangguk-angguk. Aku ambil gelas yang berisi kopi. Aku minum sedikit, mumpung masih panas. Bapak itu juga meminumnya. Cukuplah sekedar untuk mengusir rasa dingin. Hujan masih turun, makin deras.
“Terus yang membuat Bapak kecewa apa Pak?” tanyaku.
“Bertahun-tahun dia kuliah, dan setiap semester, dia selalu mendapat nilai bagus. Setelah lebih 6 tahun kuliah, bapak jadi bertanya-tanya. Kenapa dia belum juga wisuda, katanya lagi menyusun skripsi, skripsinya susah dan selalu dibuat susah sama dosennya."
Bapak itu menghela nafas.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir, kenapa Aris bisa setega itu, membohongi ayahnya.
"Lalu bapak jadi ingin lihat lokasi kuliah anak bapak dan tempat kostnya. Sekalian mengirim bekal dan uang. Sebelum ke rumah kostnya, bapak langsung ke kampus, Tanya-tanya sama mahasiswa, akhirnya bapak ketemu juga gedung tempat dia kuliah, bapak temui salah satu dosennya," bapak itu menghentikan ceritanya.
Tampak sekali raut kekecewaan di wajahnya. Dia minum beberapa teguk kopi.
"Yang membuat bapak kecewa adalah saat tahu, LHS (Lembar Hasil Studi) yang dikirim dan dibawa dia untuk diserahkan ke bapak itu palsu semua, itu kata dosennya, malahan banyak mata kuliah yang harus mengulang, karena dia jarang masuk atau nilainya rendah, kalau tahun ini tidak selesai dan tidak wisuda, dia bisa di Drop Out.”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir, kenapa Aris bisa setega itu, membohongi Ayahnya.
"Padahal sudah bapak korbankan semua untuk dia, bapak jual sebagian kebun, hasil dari menyadap karet, dengan berangkat pagi-pagi ke hutan, ke kebun semuanya untuk mengirim dia, tapi ternyata disini dia cuma bersenang- senang, pacaran, kumpul-kumpul, jalan-jalan, bapak sedih nak, kecewa, hati bapak hancur," kata bapak itu sambil menatap langit-langit tokoku.
Lidah dalam mulutku gak bisa bergerak, aku hanya terdiam. Di depan toko terdengar sebuah mobil membunyikan klakson, Bapak itu menoleh ke arah sumber suara. Travel jemputan bapak sudah datang Nak.”
Seorang laki-laki turun dari kendaraan, mengembangkan payung dan berjalan ke arah toko. Menjemput bapaknya Aris. Hujan makin deras.
“Hati-hati ya Pak, semoga Aris bisa berubah dan menyadari semua kesalahannya,” ujarku mencoba memberi semangat.
“Ya Nak, terima kasih, Bapak pamit dulu.”
Aku mengangguk, menatap Bapak Aris yang berjalan ke arah mobil jemputan digandeng sang sopir.
Tak lama kemudian mobil berlahan bergerak dan tak tampak lagi di balik tikungan. Membawa seorang bapak yang kehilangan harapan. Harapan dari desa.
>>>>><<<<<<<
Elvi Ansori
Foto Its Me Shameer