DEBUR ombak di pantai Tapak Padri yang menghantam tembok pemecah ombak terdengar jelas dari tempat kami berkumpul. Hari ini kami akan pergi memancing di sekitar daerah pulau tikus, sebuah pulau kecil, pulau yang dikelilingi oleh hamparan karang yang tidak terlalu jauh dari kota Bengkulu.
Kalau dari Tapak Padri hanya membutuhkan waktu Empat Puluh Lima Menit, dengan menggunakan perahu bermesin tempel, dengan cadik disisi kanan dan kiri untuk penyeimbang.
Berkumpul di halaman Benteng Malabouergh, benteng terbesar di Asia Tenggara yang dibangun oleh Inggris di awal abad 18, saat Inggris menjajah Bengkulu.
Kami saling mengecek peralatan dan bawaan masing-masing, katrol, riil, dawai, timah, stoper, kili-kili dan kail serta umpan, semua dicek. Sambil menunggu konfirmasi dari pemilik perahu yang akan kami sewa, yang akan mengantar dan memandu memancing di sekitar perairan pulau tikus, yang hingga saat ini masih cukup bagus terumbu karangnya, masih banyak jenis ikan yang bisa didapat saat mancing di sekitar pulau tikus.
“Kamu banyak stok timah Al?” tanya Bang Surya padaku yang lagi asyik kotak-katik hp.
“Banyak Bang” jawabku sambil memandang ke arah Bang Surya.
“Syukurlah, Abang lupa beli kemaren, eh itu kapten kapal!” Bang Surya menunjuk seseorang yang berjalan dari arah pantai menuju tempat kami berkumpul.
“Maaf agak terlambat, tadi kami cari solar dulu untuk bahan bakar,” kata kapten kapal.
“Tak apa-apa pak, yang penting hari ini kita jadi mincing,” ujar Bang Jaya, sambil mengemasi ransel pancing dan peralatannya.
Kami segera bergegas ke pantai, berhubung kapal tak bisa mendarat dan pantai tak memiliki dermaga, terpaksa harus berjalan berendam menuju ke kapal, yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari bibir pantai, dengan bersusah payah akhirnya kami berhasil naik ke kapal setelah melewati air hampir sebatas dada.
Semua peralatan diletakkan di kotak yang telah disediakan kapten kapal, kami mencari tempat duduk, mencari posisi yang enak, dan aku seperti biasa duduk di buritan kapal, bagian paling belakang, karena saat kapal berjalan biasanya aku melepaskan pancing rawe. Nilon panjang yang berisi rangkaian pancing, untuk memancing ikan tongkol dan ikan permukaan lainnya.
Ketika beberapa menit di tengah lautan, kami merasakan ada gelombang aneh, sedikit berputar, kami saling berpandangan satu sama lain.
“Ada apa ini kep?” tanya mas Edi kepada kapten kapal, yang tiba-tiba mematikan mesin kapal, dan memandang lautan, arus laut berputar dan bergelombang tidak seperti biasanya.
Di saat kami kebingungan dan penuh tanda tanya, tiba–tiba nada sambung hpku berdering, di susul dengan suara dering dari hp Mas Edi, hp Mas Bayu.
Aku angkat Hpku, rupanya telpon dari istriku, terdengar suara cemas dan ketakutan.
“Gempa…, Gempa mas,kuat banget!” teriak istriku. “Cepat pulang!”
“Bagaimana Anak-anak?” tanyaku cemas
“Tak apa-apa, kami tetap di rumah,” jawab istriku tetap dengan suara cemas.
Teman-teman yang lain juga mendapat telpon yang sama dari istri maupun saudara, kami berunding dengan kapten kapal.
“Kita pulang saja,” kata mas Edi cemas.
“Tenang Mas, tampaknya gempanya tak terlalu besar, biasa kaum ibu selalu gugup dan terlalu ketakutan, seperti Bengkulu tak pernah gempa saja,” ujar Mas Bayu.
“Bagaimana ini Kep?” tanya Bahrun, yang sedari tadi diam saja.
“Kita tunggu beberapa menit, bila laut normal, kita teruskan mancing?” kata kapten kapal tenang.
Setelah beberapa menit tak ada yang mencurigakan dari gelombang laut, akhirnya kapten kapal mulai menyalakan mesin kapal.
“Sebenarnya yang ditakutkan itu Tsunami,” ujar kapten kapal, tapi dari pada di pantai lebih baik kita di tengah laut saat tsunami,” sambungnya lagi.
“Iya Kep, benar sekali itu” kata bahrun menyambung.
“Okelah Kep, kita lanjut,” kata Mas Bayu, mencoba menghilangkan keraguan, kemudian dia menelpon istrinya, mencoba menenangkan, aku juga menelpon istriku, teman-teman lain juga, dengan susah payah, akhirnya kami berhasil, membujuk mereka agar tenang dan tidak cemas, dasar mania mancing.
Pulau tikus sudah tidak terlalu jauh lagi. Kapten kapal mencari posisi yang bagus untuk mancing, dia matikan mesin, lalu melemparkan jangkar.
“Oke, di sini nampaknya bagus,” kata kapten kapal sambil mengulur tali jangkar.
Kami serentak memulai, membuka tas perlengkapan, memasang umpan, dan melemparkan pancing dengan umpan udang hidup. Tak lama berselang Mas Bayu berteriak kegirangan.
“Strike..!” teriak Mas Bayu sambil memutar katrol, jorannya melengkung berderit, bertanda ikan yang cukup besar memakan umpannya. Dengan susah payah Mas Bayu akhirnya berhasil menaklukan ikan yang begitu kuat melawan.
Seekor ikan Kerapu dengan ukuran cukup besar berhasil dia tarik, dengan senyum dan gaya dia abadikan dengan kamera hpnya.
Tak lama kemudian Mas Edi juga berteriak.
“Aku dapat Strike nih!” teriak Mas Edi sambil memutar katrolnya.
Tiba-tiba Bahrun berteriak, membuat kami semua terkejut.
“Woii…., lihat itu!” teriaknya penuh ketakutan.
Kami serentak melihat kearah yang di tunjukkan Bahrun. Kami gemetar dan ketakutan, terdiam dengan mulut menganga. Kapten kapal sigap, dia tarik tali jangkar dan segera menyalakan mesin kapal.
Di kejauhan tampak gelombang tinggi yang mendekat kearah kami dari tengah samudera, semakin dekat semakin tinggi gelombangnya, kami putuskan semua tali pancing, kami pegangan tiang kapal atau apapun yang bisa kami pegang. Bahrun segera membantu kapten kapal menarik jangkar.
Gelombang makin dekat, tinggi sekali, setinggi pohon kelapa, kami semakin ketakutan ketika kapten kapal berteriak karena jangkar menyangkut di karang, Bahrun berusaha memutuskan tali jangkar dengan pisau.
Tapi terlambat gelombang semakin dekat, kami berteriak ketakutan ketika gelombang menghantam kapal. Mas Bayu terpental masuk ke laut, tubuhku terlempar sempat terbentur tiang kapal. Masih sempat terdengar teriakan Mas Bayu, yang akhirnya hilang bersama gelombang. Aku terlempar jatuh, tubuhku terasa sakit semua, aku buka mata.
“Pak…, Pak bangun, sudah siang, antar kami sekolah.”
Elvi Ansori, Ketua Komunitas Ayo Menulis Bengkulu