TAK lama lagi, kawasan Pulau Baai Bengkulu akan dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). PT Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia (LAPI) ITB telah mengunjungi Pulau Baai dan memaparkan studi kelayakan atas pengubahan kawasan pinggiran Kota Bengkulu sebagai KEK.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah merasa optimis, Dewan Nasional yang diketuai Menko Perekonomian akan menetapkan Pulau Baai sebagai KEK. Menurutnya, kawasan Pulau Baai sangat feasible atau layak untuk ditetapkan sebagai KEK.
Secara geoekonomi dan geostrategi, KEK oleh sebagian besar ekonom liberal dinilai memiliki keunggulan dalam menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional, serta dapat mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui transfer teknologi.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, KEK bisa terdiri dari satu atau beberapa sektor usaha diantaranya pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, dan kegiatan ekonomi lainnya.
Pada kawasan KEK, sejumlah fasilitas untuk mensejahterakan pekerja dan pengusaha akan dibangun seperti perumahan. Lalu pengusaha akan mendapatkan kemudahan dari segi kepajakan, kepabeanan, dan cukai. Singkatnya, perkonomian diyakini akan bergerak lebih cepat, menjadi magnet bagi investor dalam dan luar negeri, dan mendongkrak perekonomian masyarakat.
Namun tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa KEK juga mengandung kelemahan tertentu. Misalnya adanya ancaman polusi, limbah, konsekuensi penyediaan buruh berupah rendah, ketergantungan terhadap investor, penguasaan pasar pembelian dan penjualan, penguasaan atas bahan mentah di suatu daerah dan eksploitasi besar-besaran terhadap daerah tersebut.
Lebih ekstrem, KEK oleh ekonom kerakyatan juga dinilai hanya akan menguntungkan pemodal besar, menghancurkan industri nasional, membebani anggaran dengan hutang luar negeri, mengurangi pendapatan daerah, menjadi sumber konflik agraria, dan mengabaikan kepentingan nasional.
KEK sendiri sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, bahkan dunia. Konsep KEK mulai booming sejak diterapkan oleh Republik Rakyat Tiongkok pada era tahun 1980-an. Di Indonesia sendiri mulai diberlakukan secara massif sejak diterapkannya UU No 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Adanya dua sisi keuntungan dan kekurangan dalam pandangan-pandangan tersebut, KEK menjadi buah simalakama bagi Bengkulu. Meski Pemerintah Daerah memberikan dukungan penuh atas proyek ini, namun sebijaknya dampak-dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan harus dapat diantasipasi agar tidak menimbulkan kerugian besar bagi daerah.
Pemerintah Daerah harus lebih jeli dalam melihat disparitas atau ketimpangan antara investasi dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa rakyat yang menganggur dapat bekerja secara manusiawi dan bermartabat, serta para buruh mendapatkan upah yang baik.
Pemerintah Daerah juga harus memastikan bahwa kebutuhan membangun industri sendiri secara mandiri dengan modal kolektif merupakan hal yang lebih utama ketimbang mengandalkan investor asing.
Atau bila tidak, Pemerintah Daerah harus benar-benar bisa memastikan bahwa KEK tersebut dapat benar-benar mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui transfer teknologi serta memberikan keuntungan-keuntungan lainnya dengan batas waktu yang pasti.
Tanpa pertimbangan yang masak dan bijak, ke depan bukan mustahil rakyat Bengkulu kembali hanya akan menjadi penonton di daerahnya sendiri, melihat kekayaannya keluar dari perut bumi untuk diolah di negeri asing dengan harga murah, untuk dijual kembali ke Bengkulu dalam bentuk produk jadi dengan harga yang menjulang tinggi.