Jelang bulan Ramadan 1439 Hijriah, Bengkulu kembali digemparkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah tahun lalu dilakukan terhadap orang nomor satu di Provinsi Bengkulu, Ridwan Mukti, tahun ini dilakukan terhadap orang nomor satu di Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud.
Keduanya dibelit kasus suap fee proyek. Namun ketika belum sepenuhnya reda pemberitaan mengenai Dirwan Mahmud, Bengkulu kembali dihebohkan dengan penahanan mantan Bupati Kepahiang Bando Amin C Kader oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepahiang, Senin (28/5/2018), terkait kasus korupsi pengadaan lahan Tourism Informasi Center (TIC) di Kelurahan Dusun Kepahiang. Ini belum termasuk OTT-OTT KPK lainnya dan penahanan-penahanan kasus korupsi terhadap puluhan, bahkan ratusan pejabat lainnya di Bengkulu.
Semua kehebohan itu tentu menjadi tanda tanya besar. Bulan suci Ramadan seharusnya menjadi ajang pembersihan jiwa dari kotoran nafsu jasmani yang terwujud dalam keinsafan batin dari semua perbuatan maksiat, baik oleh para petinggi daerah hingga warga masyarakat. Namun faktanya, suap dan korupsi itu malah makin tampak nyata.
Padahal ketika orang-orang tersebut berkuasa, mereka menjalani semua amalan agama, menunjukkan pribadi yang soleh, dan menjadi teladan dalam berderma. Tak hanya itu, mereka juga dikenal sebagai kaum terpelajar, memiliki moral yang luhur, dan berupaya untuk selalu menunjukkan komitmen terhadap kemaslahatan bangsa dan daerahnya.
Yang tak habis dipikir adalah bagaimana bisa setiap tahun mereka menjalani ibadah puasa agar nafsu hewani dan sifat materialistis mereka dapat ditekan agar tak membebani jiwa dan sifat kemanusiaan mereka tapi tetap menggiring mereka ke dalam kubangan lumpur korupsi.
Sebulan penuh selama bertahun-tahun mereka menahan diri dari waktu fajar hingga malam menahan diri dari segala bentuk kesenangan dan kenikmatan, lantas masih saja terjerumus dalam perilaku tak terpuji yang mengotori keindahan jiwa mereka sendiri dengan mengambil apa yang seharusnya bukan hak mereka.
Cukup! Puasa Ramadan 1439 Hijriah ini harus menjadi momentum sekaligus pendidikan karakter agar seluruh pribadi-pribadi mereka yang memegang jabatan publik menjadi pribadi yang bertakwa, pribadi yang baik, yang telah melewati penyucian jiwa dengan puasanya.
Dengan demikian, puasanya itu tak hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, tak hanya sekedar menahan diri dari kemaksiatan, namun juga menjadikan jiwanya bersih sehingga akan merasa jijik dan tibul rasa malu yang luar biasa besar bila dikotori dengan perbuatan-perbuatan duniawi yang penuh dosa.
Di samping itu, perlu juga disadari bahwa ada sebuah sistem yang disebut neoliberlisme yang membuat ekonomi nasional, termasuk Bengkulu menjadi hancur dan terpuruk. Neoliberalisme itu menempatkan warga masyarakat dimana-mana di Indonesia ini hanya sebagai pasar untuk produk-produk mereka.
Sistem itu sangat bertentangan dengan nafas Islam yang mengutamakan zakat, infaq dan pengkolektifan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan alam. Sistem itu pula yang melahirkan ekonomi rente yang memberikan ruang bagi calo dan makelar untuk tumbuh dan berkembang, sehingga banyak pejabat publik yang bergantung pemenuhan gaya hidup mewahnya dengan suap dan korupsi.
Sistem itu juga yang setiap hari merangsang manusia-manusia Indonesia memiliki nafsu konsumsi yang besar, namun dengan produktifitas yang rendah karena macetnya upaya membangun sumber daya manusia yang tangguh lantaran diserahkannya pendidikan dan kesehatan pada mekanisme pasar.
Sistem itu juga memberikan jalan bagi perselingkuhan antara elit politik dengan pengusaha, dimana aparatur Pemerintahan hanya menjadi pelayan kepentingan pemilik modal. Sedikit sekali celah bagi rakyat untuk melakukan kontrol hingga tak mungkin terungkap kecuali hadirnya aparat penegak hukum dengan melakukan operasi-operasi penangkapan dan penyelidikan.
Karena itu, Ramadan 1439 Hijriah juga harus menjadi momentum untuk melakukan pembongkaran sistem neoliberalisme atau ekonomi politik yang korup dan menggantinya dengan sistem ekonomi Pancasila, sistem ekonomi yang sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang Berkeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sistem yang hendak memerangi hawa nafsu dengan segala kemaksiatan yang ditimbulkannya, sistem yang mengangkat panji-panji kemanusiaan, kerakyatan dan kedaulatan rakyat, sistem yang hendak menenggelamkan budaya-budaya konsumerisme, para pencoleng kekayaan rakyat, para pemburu rente yang hendak menjadi kaya raya tanpa kerja.
Hanya dengan cara-cara seperti itu maka makna puasa Ramadan akan mendapatkan arti yang hakiki. Puasa Ramadan harus menjadi sarana bagi para pejabat publik untuk menggelorakan gaya hidup sederhana dan menjadikan jabatannya itu semata-mata untuk mencapai keridhaan Allah SWT dengan cara memberikan pelayanan kepada publik secara tulus ikhlas, memotong dan memangkas semua anggaran perjalanan dinas yang tidak penting dan yang tidak bersentuhan dengan rakyat, dan menggelontorkannya untuk pelayanan sosial, untuk kebahagiaan rakyat terutama mereka yang miskin dan hidup penuh kekurangan.