Calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan dipilih pada Rabu, 17 April 2019 mendatang yang terdaftar di KPU RI adalah Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kedua pasangan calon telah dinyatakan lolos uji kesehatan oleh tim dokter, Selasa (14/8/2018).
Akhir-akhir ini, persoalan capres-cawapres telah memancing keluarnya banyak fitnah, gibah, saling sindir dan kegaduhan-kegaduhan lainnya di berbagai media, merusak semangat kebhinekaan Indonesia. Tak ubahnya pemilihan presiden (pilpres) 2014, pilpres 2019 menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat luas.
Bedanya, pilpres 2014 kemarin program-program yang mengandung isian pro kemandirian nasional, kerakyatan dan slogan-slogan nasionalisme seperti Trisakti, Nawacita, Pasal 33 UUD 1945 menjadi tema-tema kreatif yang menjadi perbincangan luas di kalangan warga masyarakat. Sementara pilpres 2019, perdebatan tersebut semakin berwarna dengan kehadiran politik identitas.
Munculnya diskursus mengenai ulama dan umara seakan mengaburkan debat-debat mengenai isu kemandirian nasional yang justru merupakan persoalan utama yang dihadapi oleh bangsa ini. Bahasa-bahasa neolib masih sunyi. Sementara gaung fitnah dan propaganda pecah belah tampak semarak, tak terkecuali di laman media-media yang menjadi arus utama.
Padahal dahulu, Bung Karno dalam pidatonya tahun 1966 yang berjudul “Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah” atau disingkat Jasmerah sudah mengingatkan, “jangan kita sengit-sengitan! jangan kita fitnah-fitnahan! jangan kita jegal-jegalan! jangan kita gontok-gontokan! musuh revolusi selalu menghendaki ini: musuh dari luar, ya musuh dari dalam juga.”
Mungkin kita khilaf. Pilpres merupakan sarana demokrasi untuk menentukan Nakhoda yang akan memimpin kapal besar bernama Indonesia mengarungi samudera untuk mencapai pelabuhan kemerdekaan nasional, Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Siapapun capres-cawapres terpilih harus memastikan bahwa ia merupakan orang yang paling ideal dalam membela kepentingan tanah air dan rakyat Indonesia, konsisten dengan janji-janji dan mampu mensejahterakan petani, buruh, warga miskin, serta segenap warga negara lainnya tanpa memadang ras, suku, agama dan antargolongan (SARA).
Kekuatan imperialisme tentu saja khawatir kalau isu pilpres 2019 menjadi panggung bagi khotbah-khotbah tentang keterjajahan kembali Indonesia pasca Presiden Sukarno karena akan mengancam bisnis mereka yang sudah berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun di Indonesia.
Imperialisme was-was, belum terkelolanya sumber daya ekonomi untuk kemakmuran rakyat, belum memuaskannya fasilitas pendidikan dan kesehatan serta minimnya ketersediaan lapangan kerja membuka mata banyak orang bahwa kapal Indonesia ini terancam tenggelam dalam jurang ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.
Untuk itu, hendaknya disudahi saling serang mengenai persoalan pribadi. Stop bahasa-bahasa cebong dan kampret, kardus dan baper, perkara remeh temeh soal rumah tangga, bentuk wajah dan sebagainya. Kita harus fokus mengawal agar pilpres 2019 ini melahirkan pemimpin yang berani banting stir mengubah haluan ekonomi-politik Indonesia dari neoliberalisme menjadi negeri yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Elit-elit partai politik hendaknya menjadi penyejuk agar perdebatan mengenai hal-hal yang tak substantif dan programatik seperti cebong dan kampret dibuang saja ke keranjang sampah. Elit-elit partai politik hendaknya menjadi teladan dengan berbuat baik, berkata baik, dan konsisten melaksanakan kerja-kerja praktik yang memajukan kesadaran politik rakyat.
Nakhoda Indonesia 2019 harus sosok yang mampu memperjuangkan rakyat, bukan hanya di baliho-baliho, iklan-iklan media massa, poster-poster, namun juga secara nyata. Nakhoda itu harus mampu menyatukan kekuatan rakyat yang besar untuk bersama-sama mengawal janji-janji politik capres-cawapres yang akan diungkapkan dalam kampanye dan debat kandidat kelak.
Dan perlu digarisbawahi, pilpres akan berlangsung serentak dengan pemilu legislatif. Artinya, Nakhoda Indonesia 2019 mendatang juga harus dapat memastikan bahwa mereka kelak tidak melangkah sunyi dalam perjalanan menuju masyarakat adil makmur.
Ribuan elit politik yang akan dipilih dalam pemilu 2019 adalah energi besar dalam menggalang kekuatan rakyat yang besar khususnya dalam menghadapi kekuatan–kekuatan asing/imperialisme yang berkeinginan terus menjajah ekonomi, politik dan budaya Indonesia.