Indonesia kembali berduka. Setelah Nusa Tenggara Barat (NTB), gempa melanda Sulawesti Tengah, bahkan disusul dengan tsunami di Pantai Talise, Palu dan Pantai di Donggala pada Jumat (28/9/2018). Ribuan warga menjadi korban jiwa. Banyak yang kehilangan dan menghilang, belum tertemukan.
Kabar memilukan tentang adanya penjarahan, warga yang belum mendapatkan bantuan hingga masih banyaknya korban jiwa yang belum ditemukan lima hari setelah bencana terjadi, sekali lagi memberitahukan Indonesia tentang betapa masih minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana menyelamatkan diri.
Akhirnya Pemerintah kembali disibukkan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, seperti pemadam kebakaran yang bergerak setelah mendapatkan laporan korban.
Banyaknya korban jiwa kali ini menunjukkan sistem ketahanan Indonesia terhadap bencana masih belum dapat begitu diandalkan untuk membendung jatuhnya jutaan tetes air mata dari korban akibat gempa dan tsunami.
Gempa Sulawesi Tengah memberitahukan bahwa Indonesia, negeri seribu satu bencana, belum memiliki gedung yang tahan gempa dan belum memiliki sistem peringatan dini dari teknologi terkini yang dapat memantau getaran bumi secara terus menerus. Kalau ada, kenapa tidak berfungsi dengan baik?
Namun kita tetap bersyukur, gotong royong yang menjiwai rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara segera mengulurkan tangan untuk membantu meringankan beban para korban. Pemerintah Kota Bengkulu misalnya, dalam tiga hari terakhir telah mengumpulkan donasi dari berbagai jajaran instansi dan warganya Rp235.819.500. Sebuah bentuk solidaritas kemanusiaan yang patut diteladani oleh Pemerintah Daerah lainnya.
Sekarang adalah waktu yang tepat bagi kita untuk memikirkan kembali cara yang lebih baik dalam menghadapi ancaman bencana mengingat Indonesia berada di jalur gempa dan gunung api serta di antara empat lempeng aktif dan lingkaran ‘cincin api’ atau ring of fire. Menurut Kementerian Dalam Negeri, 25 dari 33 provinsi di Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam yang terancam oleh gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Hal itu terkonfirmasi dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebutkan, ada 148,4 juta rakyat Indonesia tinggal di daerah rawan gempa bumi, 63,7 juta jiwa di daerah rawan banjir, 40,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan longsor, 5 juta di daerah rawan tsunami, dan 1,2 juta penduduk di daerah rawan erupsi gunung api.
Sebagai solusi, Pemerintah mungkin perlu meningkatkan peran dan kewenangan BNPB dari sebuah badan menjadi kementerian dengan anggaran yang besar. Sebab, kesadaran rakyat Indonesia akan bencana perlu ditingkatkan secara terus menerus. Kepedulian masyarakat untuk siaga dalam menghadapi bencana harus dibangkitkan secara masif.
Sinergi dan koordinasi antar birokrasi ketika bencana terjadi harus bermuara pada kecekatan Pemerintah dalam memberikan pertolongan baik ketika bencana terjadi, lebih-lebih sesudahnya. Seluruh sistem peringatan dini tercanggih yang ada dunia harus dimiliki oleh Indonesia dan tidak boleh ada yang dalam keadaan rusak dengan perawatan yang dilakukan secara berkala. Indonesia butuh Undang-Undang yang mewajibkan setiap bangunan warganya tahan terhadap gempa.
Ribuan nyawa yang hilang dalam bencana di Sulawesi Tengah ini harus menjadi yang terakhir bagi Indonesia. Cukup sudah kita mengalami situasi memilukan ini. Sudah banyak negara yang menunjukkan bahwa mereka mampu mengurangi korban jiwa ketika bencana besar melanda. Kita juga harus kuat menghadapi seribu satu bencana. Indonesia pasti bisa. Semoga.