Perbincangan mengenai orientasi seksual kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kembali menghangat. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah bahkan menyurati Kementerian Kominfo RI sebagai pemilik kewenangan untuk memblokir/menutup banyaknya konten dan akun di media sosial yang berbau LGBT, Kamis (18/10/2018).
LGBT bukan hal baru dalam sejarah manusia. Bangsa Sodom dan Gamorah di masa Nabi Luth alaihissalam pernah hancur dan tenggelam akibat perbuatannya. Tuhan Yang Maha Esa murka dan menyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 81 bahwa kaum Luth adalah kaum yang melampaui batas.
Werner Keller yang melakukan penelitian arkeologis dan geologis mencatat bahwa Kota Sodom dan Gomorah terletak di Lembah Siddim, daerah terendah dari Danau Luth. Kehancuran Kota Sodom dan Gamorah diperkirakan terjadi sekira 1.800 sebelum Masehi. Hal ini ia buktikan melalui penemuan situs besar yang telah tenggelam akibat gempa vulakanis yang dahsyat. Penelitan ini mengkonfirmasi kisah yang terdapat dalam Al-Quran dan kitab Perjanjian Lama.
Pengaruh LGBT semakin meluas di dunia khususnya setelah kemunculan gerakan ini di Los Angeles Amerika Serikat (AS) pada tahun 1981. Gerakan ini begitu percaya diri setelah secara ironis mengklaim tetap bisa mendapat keturunan melalui program surrogate mother atau program mendapatkan anak dengan meminjam rahim wanita pendonor.
Gerakan ini eksis dan berlindung dibalik jubah Hak Asasi Manusia (HAM). Penolakan terhadap LGBT mereka tuding sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Berdasarkan kajian mahasiswa Universitas Indonesia Support Group and Resource Center of Sexuality Studies (SGRC) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah LGBT mendapatkan sponsor ratusan miliar rupiah dari barat untuk mengkampanyekan legalisasi LGBT di Indonesia.
Aktivis LGBT Hartoyo dalam diskusi bertema “LGBT, Beda Tapi Nyata” di Warung Daun, Cikini, Jakarta, pada 20 Februari 2016 mengakui adanya kucuran dana asing yang digunakan untuk mengkampanyekan isu-isu LGBT oleh lembaga Hivos Belanda. DPR RI sebelumnya juga telah mengkritisi adanya dana bantuan yang disalurkan oleh lembaga bentukan AS, United Nations Development Programme (UNDP) kepada komunitas-komunitas LGBT di Indonesia.
Maraknya konten dan akun LGBT di media sosial yang mengatasnamanakan Bengkulu patut diresahkan oleh Plt Gubernur Rohidin Mersyah. Sebab, ada begitu banyak kisah hikmah dalam sejarah yang membuktikan bahwa dibalik tindakan dan perbuatan dosa yang dilakukan oleh umat manusia senantiasa berimplikasi terhadap gerak keseimbangan alam.
Jejak sejarah telah membuktikan bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan mengirimkan LGBT (longsor, gempa, banjir dan tsunami) ketika manusia melakukan perbuatan maksiat, melakukan penindasan terhadap sesama manusia dan melakukan penzaliman yang berlebih-lebihan terhadap alam. Bencana-bencana itu merupakan upaya Tuhan memperingatkan hamba-Nya untuk kembali ke jalan yang lurus dan sebagai sebab pengampunan dosa bagi hamba-Nya yang beriman.
Bila ditarik dalam konteks keindonesiaan, kita pantas lebih khawatir. Bukan hanya akun LGBT yang marak di media sosial saat ini namun berbagai penyakit rohani lainnya seperti fitnah dan gibah begitu mudah diproduksi dan dibagikan ratusan kali. Kemaksiatan dipertontonkan dimana-mana seakan-akan menujukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukanlah negara beridelogikan Pancasila yang memaktubkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertamanya.
Seruan Pemerintah Kota Bengkulu agar warga masyarakat memakmurkan rumah-rumah ibadah yang diawali dengan gerakan tolak bala 10 juta doa umat untuk negeri pada 10 November 2018 mendatang patut disambut oleh segenap komponen bangsa dan negara. Memakmurkan rumah-rumah ibadah dengan amalan-amalan agama yang sempurna merupakan jalan efektif untuk menghidupkan kembali semangat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Orang yang melumuri sikap dan tindakannya dengan amalan agama yang sempurna menutup celah terjerumusnya orang tersebut kedalam orientasi seksual LGBT, menutup celah setiap kepala daerah terjerumus dalam orientasi kekuasaan yang bersifat zalim dan menutup celah orang-orang kaya untuk menumpuk-numpuk harta tanpa membagi-bagikannya.
Para LGBT merupakan korban ketika amalan-amalan agama disisihkan dari sebuah komunitas masyarakat. Menghidupkan kembali amalan-amalan agama yang sempurna sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam komunitas masyarakat berarti memberikan kesempatan kepada mereka dan para pelaku maksiat lainnya untuk bertaubat, kembali ke jalan yang lurus sebelum datangnya bencana besar yang telah berulang kali terjadi di Indonesia, dan juga seringkali menimbulkan korban jiwa di Bengkulu.