Baru-baru ini sebuah fakta terungkap, sebanyak 92 orang masyarakat Kabupaten Seluma positif mengidap penyakit HIV/Aids. Seperempat dari 92 orang tersebut masih remaja.
Fakta ini ditemukan berdasarkan data dari penelitian Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Seluma melalui 22 Puskesmas di 14 kecamatan.
Lain Seluma, lain di Papua. Di provinsi paling timur Indonesia ini, HIV/Aids bahkan telah dikhawatirkan akan memusnahkan suku-suku kecil yang ada dalam beberapa tahun mendatang.
Di Kepulauan Riau, Dinas Kesehatan setempat menganggap virus HIV/Aids ini seperti bencana yang mengkhawatirkan dimana penderitanya mayoritas adalah homoseksual, waria dan PSK.
Laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan ketika mengamati perkembangan HIV-AIDS dan PIMS di Indonesia bulan Juli-September 2018, jumlah kasus HIV sebanyak 314.143 dan AIDS sebanyak 111.973 di mana 33 persen di antaranya adalah perempuan.
Laksana fenomena gunung es, data-data yang ada pada instansi-instansi tersebut belum semenakutkan jumlah sebenarnya dari orang-orang yang enggan untuk memeriksakan kesehatannya, entah karena takut diketahui penyakitnya atau karena bertambahnya jumlah penularan melalui umat manusia yang memelihara perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual lainnya.
Mengatasi penyimpangan seksual dengan kondom bukan solusi HIV/Aids atau mencegah penyebarannya, karena pokok masalahnya bukan pada perbuatan seks, tapi penyimpangan dalam perilaku seksual.
Banyaknya perilaku seksual dilakukan orang-orang mengkonfirmasi betapa amalan agama atau nilai-nilai universal yang terkandung dalam semangat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi dijadikan sebagai pedoman oleh seluruh warga masyarakat.
Ini bukan untuk mendiskriminasikan korban HIV/Aids. Sebab, tidak ada diskriminasi dalam agama. Semua manusia sama. Sama saja antara si raja atau rakyat biasa. Tak beda orang kaya atau orang miskin. Yang membedakan antar manusia hanyalah ketakwaannya atau perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan dalam kehidupan dalam mencapai rida Allah subhanahu wa ta’ala.
Neoliberalisme, kemiskinan dan kebodohan yang mendorong banyak orang untuk bermaksiat, berbuat dosa, menyimpang secara seksual, serta jauh dari perilaku hidup sehat adalah musuh-musuh bagi nilai-nilai universal yang terkandung dalam semangat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dakwah agar manusia kembali menemukan kenikmatan dalam amal agama, bukan dengan berbuat dosa, menjadi penting dalam konteks tersebut.
Dakwah kepada orang-orang yang sehat agar menolong yang sakit, bukan dengan caci-maki, bukan dengan fitnah dan gibah, tapi dengan semangat mengasihi dan menyayangi sebagaimana yang diteladani oleh para nabi.
Dakwah yang mengajak orang berbuat baik dan mencegahnya untuk berbuat jahat merupakan alat untuk kepentingan seluruh umat manusia, termasuk terhadap mereka yang tengah Allah uji dengan virus HIV/Aids.
Hanya dalam dakwah upaya menghapus HIV/Aids tidak lagi hanya menjadi kebijakan di atas kertas, namun menjadi nafas yang akan memberikan harapan hidup kepada mayoritas pengidap HIV/Aids.
Lihat bagaimana Kuba, sebuah negeri yang dinobatkan oleh WHO selaku Organisasi Kesehatan Dunia sebagai satu-satunya negara di dunia yang berhasil memutus mata rantai penyebaran HIV dan Syphilis dari ibu ke bayi yang dilahirkannya.
Kepala Program Pencegahan STI/HIV/AID Kementerian Kesehatan Publik Kuba, Dr. MarÃa Isela Lantero, mengatakan, kunci keberhasilan Kuba adalah pada sistem kesehatannya yang mengedepankan pencegahan dengan kampanye perilaku seksual sehat.
Dan yang terpenting, kebijakan kesehatan Kuba sepenuhnya selaras dengan api dakwah dalam agama, berkualitas dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sehingga memungkinkan setiap orang bisa mengakses layanan kesehatan.