Sempat menjadi perhatian publik, aksi protes kolam ikan lele yang dilakukan oleh warga Desa Sukabumi Kecamatan Lebong Sakti Kabupaten Lebong akibat rusaknya jalan Provinsi, yang merupakan jalan satu-satunya daerah tersebut.
Aksi ini dalam bentuk kekecewaan karena infrasruktur yang tidak memadai. Dan ini bukan hanya dirasakan oleh kabupaten Lebong semata, tetapi juga dirasakan oleh beberapa Kabupaten lainnya yang ada di Provinsi Bengkulu.
Saat ini, Provinsi Bengkulu memang merupakan daerah yang masih tertinggal, terpencil dan terisolir di banding dengan Provinsi lainnya. Oleh karenanya, masih sangat perlu pembangunan infrastruktur yang memadai, sehingga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Bengkulu.
Infrastruktur merupakan panglima pembangunan. Jargon tersebut diucapkan langsung oleh Presiden Jokowi bahwa Kerja agung mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, akan sulit tercapai tanpa daya dukung infrastruktur.
Namun perlu diingat, pembangunan infrastruktur bukan semata hanya untuk kepentingan rakyat, dengan kata lain bisa digunakan melayani kepentingan kapitalis yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ada banyak fakta sejarah terkait itu.
Presiden Sukarno, dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno bercerita pembangunan irigasi dan jalan di Hindia-Belanda. Kata Sukarno, irigasi yang dibangun bukan terutama untuk mengairi sawah rakyat, melainkan untuk pengairan perkebunan tebu dan tembakau milik kapitalis.
Begitu juga dengan proyek jalan raya. Jalan raya tidak dibangun untuk menembus hutan atau antar pulau, sehingga melancarkan mobilitas penduduk dan barang-barang, melainkan untuk melayani transportasi logistik dan hasil produksi kapitalis.
Cerita yang sama juga pernah disampaikan Sukarno dalam pledoi mashurnya, Indonesia Menggugat, bahwa jalan raya, kereta api, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun Belanda hanya untuk menggampangkan gerak modal partikelir.
“Tetapi tidak dapat disangkal bahwa alat lalu-lintas modern itu menggampangkan geraknya modal partikelir. Tidak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat kocar-kacir oleh karenanya,” tulis Sukarno di risalah Indonesia Menggugat.
Singkat kata, di mata Sukarno, proyek infrastruktur kolonial itu dibangun semata-mata untuk melayani ekspansi dan eksploitasi kapital asing.
Jadi, pembangunan infrastruktur saat ini harus sebesar-besarnya ditujukan kepentingan rakyat atau dengan kata lain harus sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan mendesak rakyat selaras dengan kebutuhan tiap-tiap daerah, sehingga dapat mewujudkan masyarkat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.