Ditengah tingginya konstelasi perang antara Rusia dan Ukraina serta naiknya beberapa harga kebutuhan pokok, publik saat ini dihebohkan dengan polemik terkait wacana penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan oleh tiga ketua umum partai politik koalisi pemerintah.
Sebelumnya, dalam beberapa argumentasi di media, saya sudah menyampaikan bahwa wacana itu merupakan pertemuan tiga kepentingan besar di republik ini, yaitu partai politik koalisi pemerintah, istana dan oligarki.
Kepentingan dan keterlibatan istana dalam bergulirnya wacana penundaan pemilu 2024 itu juga sudah diakui oleh politisi dari partai politik yang mulai merapat ke arus kekuasaan, meski sebelumnya partai ini berada pada jalur oposisi.
Politisi itu menyebutkan bahwa isu penundaan Pemilu 2024 digulirkan ke publik atas permintaan salah satu menteri super power dan disetujui oleh penguasa istana. Terkait kebenaran informasi tersebut, tentu saja rakyat masih menunggu tanggapan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Untuk informasi, sebelum wacana penundaan Pemilu 2024 digulirkan oleh tiga ketua umum partai tersebut, isu ini sempat juga disinggung oleh salah menteri dalam kabinet.
Menteri itu menyampaikan bahwa para pengusaha nasional menghendaki kontestasi politik lima tahunan tersebut ditunda beberapa tahun dengan alasan untuk pemulihan ekonomi setelah dihajar pandemi Covid-19.
Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa wacana penundaan Pemilu 2024 ini sebenarnya adalah rencana istana yang didukung oleh pengusaha. Selanjutnya, partai politik berperan untuk memuluskan rencana itu agar bisa berjalan mulus.
Jika benar demikian, tentu ada hal besar yang sedang dipertaruhkan oleh penguasa sampai harus menunda pemilu yang sudah jelas-jelas menabrak konstitusi UUD 1945.
Ambisi dan kepentingan segelintir elit yang menguasai sumber daya ekonomi maupun politik tersebut harus mendapatkan perlawanan yang luas dari masyarakat. Jika tidak, maka wacana penundaan pemilu ini akan dilegalkan melalui instrumen negara.
Pandangan ini tidak mengada-ada, mereka memiliki pengalaman sebelumnya yang berhasil mengesahkan UU Minerba dan Omnibus Law meski mendapatkan perlawanan dari pelbagai elemen masyarakat. Padahal, saat itu rakyat sedang berjibaku mempertaruhkan hidupnya untuk segera pulih kembali akibat diporak-porandakan pandemi Covid-19.
Banyak kelompok menganggap jika bangsa dan negara kita Indonesia saat ini sedang dalam belenggu oligarki. Menurut KBBI, oligarki merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh segelintir orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Jika fakta politiknya demikian, masyarakat dipaksa setuju dengan apa yang mereka putuskan. Ini sungguh ironis, di tengah sulitnya kehidupan rakyat akibat pandemi, ditambah dengan naiknya harga kebutuhan pokok, polemik JHT, BPJS dan kewajiban administratif yang menjadi beban masyarakat, demokrasi hanya menjadi alat oligarki.
Demokrasi yang dikuasai oligarki semakin menjauhkan masyarakat dari keadilan dan kesejahteraan, maka tata ulang sistem ekonomi dan politik menjadi kebutuhan mendesak.
Sistem politik harus membuka seluas-luasnya partisipasi politik rakyat dengan cara mempermudah pendirian partai politik dan kepesertaannya dalam pemilu, penghapusan _parlementary threshold_ maupun presidential threshold.
Di sektor ekonomi, sumber daya yang dikuasai oleh segelintir orang harus dibatasi dengan membuat UU anti oligarki, memperkuat posisi ekonomi masyarakat dengan mengembangkan UMKM dan Koperasi. Hal ini bertujuan agar rakyat mandiri serta berdaulat dengan membangun swakarsa, swadaya dan swasembada ekonomi.
Mereka yang kuat harus dibatasi dan mereka yang lemah harus dilindungi dan dikembang. Untuk itu, negara bertugas membuat aturan dalam bentuk regulasi dan instrumen pendukungnya. Dengan begitu, cita-cita Indonesia adil makmur akan terwujud. Demokrasi harus betul-betul menjadi sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menangkan Pancasila!
Agus Jabo Priyono Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)