PedomanBengkulu.com, NTT - Berdasarkan data SSGI 2021, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah.
"Penyematan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya yang diterima media ini, Selasa (22/3)
Hasto menyebut, 15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka.
Sementara sisanya tujuh kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur.
Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satu pun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
Prevalensi stunting 48,3 persen di Kabupaten Timor Tengah Selatan jika dinarasikan kurang lebih bermakna ada 48 balita stunting di antara 100 balita yang ada disana.
Secara nasional, Kabupaten Timor Tengah Selatan menduduki pemuncak nomor satu untuk prevalensi balita stunting di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas.
Bahkan, standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO hanya menoleransi angka prevalensi stunting di kisaran 20 persen.
Artinya prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan melebihi dua kali standar dari WHO.
Menurut Hasto, hal tersebut menjadi sebab utama dipilihnya Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam kunjungan Presiden Joko Widodo pada Kamis (24/3) mendatang.
“Rencana kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Soe, ibu kota Timor Tengah Selatan ini menunjukkan kepedulian dan komitmen dari presiden dan pemerintah pusat akan pengentasan persoalan stunting,” jelas Hasto.
Menurutnya, Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa berjuang sendiri, melainkan, butuh kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan semua komponen masyarakat.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan di 2020, terdapat 37.320 jiwa penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 jiwa penduduk.
Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga dan hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat.
Disampaikan Hasto yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional, khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan diharapkan prevalensi kasus stunting 48,3 persen saat ini dapat menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022 dan melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023, sehingga di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan meninjau secara langsung program-program yang dihelat BKKBN dalam percepatan penurunan stunting di Timor Tengah Selatan.
Di antaranya pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting, pemeriksaan ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi balita, kunjungan ke rumah warga serta proses pembangunan program bedah rumah serta peresmian rumah pompa air.
Termasuk juga kata dia, masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan oleh BKKBN.
"Kisah kerja kolaboratif bersama, membangun kepedulian bersama dari semua kalangan di Timor Tengah Selatan dalam percepatan penurunan stunting suatu saat akan menjadi cerita yang akan diingat generasi mendatang. Cerita tentang perjuangan untuk mewujudkan generasi emas," tutupnya.[Rls]