Riri Damayanti John Latief |
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Hj Riri Damayanti John Latief dalam peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia atau International Day of the World's Indigenous Peoples yang telah ditetapkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Bulan Desember 1994.
"Untuk masyarakat adat Bengkulu saya tegaskan mereka semua berhak atas hutan-hutan yang lestari, mereka berhak lepas dari semua konflik sosial yang terjadi, mereka berhak atas peraturan daerah yang memberikan pengakuan dan perlindungan kepada mereka," kata Hj Riri Damayanti John Latief, Selasa (9/8/2022).
Dewan Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Bengkulu ini menegaskan, masyarakat adat dan wilayah yang mereka huni merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan yang diperoleh sejak leluhur lalu diwarisi secara turun temurun.
"Di tanah itulah mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, bermukim, bertani, berkebun, beternak, bersekolah, dan berbagai kepentingan lainnya sebagai manusia yang utuh. Jadi nggak boleh dipisahkan, apalagi dengan paksaan," ujar Hj Riri Damayanti John Latief.
Perempuan yang digelari Anak Suku Adat Tiang Empat dari Masyarakat Adat Pematang Tigo ini menekankan, ia selaku wakil daerah di Senayan siap untuk mendengarkan persoalan, harapan hingga kebutuhan masyarakat adat di Provinsi Bengkulu.
"Jangan ada kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Saya mengajak para elit politik dan pemerintah untuk memberikan keberpihakan yang lebih nyata untuk melindungi seluruh hak-hak masyarakat adat," demikian Hj Riri Damayanti John Latief.
Untuk diketahui, Hari Masyarakat Adat Internasional dirayakan setiap tanggal 9 Agustus sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples pada 13 September 2007.
Di Bengkulu, masyarakat adat kerap menemui konflik. Di Seluma beberapa waktu yang lalu misalnya, masyarakat adat setempat menolak keberadaan perusahaan tambang pasir besi. Hal yang sama juga dilakukan masyarakat adat terhadap rencana perkebunan sawit skala besar di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, belum lama ini. [**]