PedomanBengkulu.com, Bengkulu - Nasib 524 guru honorer yang dinyatakan lulus Passing Grade (PG) tahun 2021 untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), masih belum ada kepastian. Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu Dempo Xler SIP MAP mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu harus mengusulkan formasi PPPK ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB).
“Saya sudah banyak mendapatkan keluhan dari guru honorer, baik langsung maupun melalui handphone. Tidak ada alasan lagi, pemprov untuk tidak mengusulkan formasi PPPK,” terang Dempo.
Dijelaskannya, pemerintah pusat telah membuka peluang untuk memberikan formasi PPPK kepada daerah Namun formasinya tetap harus diusulkan dari daerah, secara tertulis. Jika tidak, tentu pemerintah pusat, juga tidak akan memberikan kuota formasi PPPK tersebut.
“Faktanya sekarang, kita dapat laporan dari pusat, memang belum ada usulan formasi PPPk dari Bengkulu. Ini kita sayangkan,” ungkapnya.
Pemerintah pusat itu, menurut Dempo tetap akan memberikan formasi PPPK kepada daerah. Bahkan pemerintah pusat akan memberikan dana alokasi khusus (DAK) untuk gaji PPPK tahun 2023 mendatang.
“Ada anggaran DAK dari pusat. Agar tidak ada lagi halangan pembayaran gaji PPPK. Tinggal lagi pemprov, membuat formasi apa yang akan diusulkan, sesuai kebutuhan daerah,” ujar Dempo.
Dempo mengatakan, Komisi I DPRD Provinsi yang memiliki fungsi pengawasan kebijakan kepegawaian pemerintah itu, akan ikut mengawal formasi PPPK itu diusulkan ke pemerintah pusat. Sebab, tanaga guru sangat dibutuhkan. Termasuk tenaga kesehatan, juga paling penting dibutuhkan.
“Guru dan tenaga kesehatan ini paling penting, urgen untuk diangkat jadi PPPK. Kalau yang lain, bisa bertahap,” tegasnya.
Terkait tingginya belanja pegawai di APBD Provinsi Bengkulu yang telah mencapai 42,7 persen atau lebih dari 30 persen idealnya belanja
pegawai, menurut Dempo, memang hal ini menjadi masalah sejak tahun 1998, tetang adanya kebijakan reinventing government atau mewirausahakan birokrasi.
Karena kebijakan itu adanya reformasi birokrasi, yang dituntut bekerja dahulu baru menghitung anggaran.
“Akhirnya yang terjadi sekarang, uang dulu baru programnya. Ini yang menjadi pembengkalan belanja pegawai,” ungkap Dempo.
Pembengkakan belanja pegawai itu, menurut Dempo banyak faktor. Seperti terus bertambahnya jumlah PNS setiap tahunnya. Faktornya banyaknya rekrutmen PNS, PNS pindah, bertambah honorer, PPPK dan lainnya. Termasuk tidak adanya efisiensi operasional pegawai dan lainnya. “Sekarang pemerintah harus berfikir, agar tidak ada lagi pembengkalan operasional, belanja rutin untuk PNS. Ini PR Gubernur, TAPD dan DPRD Provinsi. Bagaimana sebisa mungkun untuk merumuskan APBD yang kecil, bisa maksimal pemanfaatannya,” tandasnya.