Kretek, seperti seorang lelaki yang berhadapan dengan pilihan, sebelah kanan mengharamkan, sebelah kiri membolehkan, yang ditengah diam-diam saja sambil menghembuskan asap.
Semuanya berdiri diatas kepentingan berbeda. Antara Dosa atau Devisa. Tetapi kaum tengah tidak selalu menghiraukan perdebatan ini. Hisap saja sampai batuk. Toh nyawa ditangan tuhan." Katanya".
Dunia dan kemanusian tentunya seperti kitab yang dibaca tidak menemukan kata tamat. Apalagi ada yang berencana membangun kesimpulan. Entah kenapa dunia dengan waktunya selalu menjadi pencuri yang lihai untuk mematahkan satu persatu opsi atas penilaiannya. Hari ini kita bergerak untuk membenci, esok hari sayang dan rindu memeluk tidur nan hangat.
Kretek atau kopi adalah komoditi dan tinta sejarah. Kolonialisme bergerak juga ada kopi atau tembakau ikut menanggung dosa. Mekah pernah mengharamkan kopi. Eropa sebelum mereka tahu bahwa cuma cafein yang membuat mereka bisa berdiskusi sepanjang malam, mendapatkan tinta merah tanda haram dari gereja.
Jadi atas dasar tertentu, jejak Halal atau haram tidak berdiri sendiri. Ini tafsir tentunya, dengan upaya pembenaran medikal atau untuk menolak stimulasi atas kesadaran fungsi kekuasaan. Predikat halal atau haram atas sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja, akan menjadi lebih horor.
Gambar para ahli hisap ditempeli ditiap bungkus kretek, menandakan bahaya yang merenggut nyawa. Tetapi anehnya, untung penjualan tetap masuk ke kas, cukai tembakau dirapatkan tiap tahunnya. Dampaknya kas negara atau kas swasta semakin gendut.
Anjuran ini seperti basa-basi untuk membuat dua kutub berlawanan agar mengangguk tanda setuju, sembari mengancam para ahli hisap yang cuek, yang termarjinal, penghisap barang haram, kalau mau mengeluarkan asap disediakan ruang tertentu. Ingat di area publik izin perokok hanya ada pada tanda" Dilarang/diizinkan merokok"
Pun tembakau hari ini. Kretek sebagai mana sejarah indonesia itu sendiri. Sensasi penghisapan manusia untuk manusia berikutnya menyertakan analogi tembakau menjadi paduan yang pas untuk kita bercerita. Tidak cukup mengharamkan saja atau pun menghalalkan saja. Ada raksasa ekonomi yang ikut mengetuk tafsir. mereka bergerak atas tafsir yang sama, seperti abad-abad silam. Tafsir monopoli dan mengatur arus pasar.
Ada yang latah ikut mengharamkan, pun ada juga yang melawan karena kadung kecanduan. -Kopi tanpa kretek tidak nikmat katanya-, entah perpaduan ini sengaja dibuat ada untuk memberikan kesan dramatik bagi kopi dan jodohnya kretek? Atau kita sedang tidak mengetahui apa-apa, antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan adalah sama-sama korban diantara dua raksasa yang sedang berebut pasar. Opini kita hanya lebih subjektif dan sedikit rasionalisasi atas dasar perlawanan?
Dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan untuk meletakkan kata benar, kita ternyata sedang diper-alat oleh musuh itu sendiri.
Tetapi, yang paling beruntung adalah kaum tengah, kaum yang kalau mau menghisap kretek ya hisap saja. Tidak ada tafsir atau usaha untuk menjadi lebih pintar. Tetapi ini bukanlah kebodohan. Ini hanya sensasi bagi pilihan dalam menikmati kretek. Mau haram mau halal. Toh nyawa ditangan tuhan, "Katanya".
Oleh Ronald Reagen, Founder sekaligus CEO PT Dcendolin Boba Indonesia, Yang membawahi Brand Dcendolin Boba Drink, TEHEULA, DcIND Powder Drinks