Oleh: Aditya Candra Utama,S.Kom.I (Penulis ialah Penyuluh Agama Islam dan Ad-Hoc BAWASLU di Provinsi Bengkulu)
Negeri kita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang luas terdiri dari banyak pulau dan dihuni oleh banyak etnik ini dikenal dengan pesonanya yang sungguh indah dan menakjubkan. Pesona ini bisa mengundang daya tarik tersendiri bagi mereka yang berniat jahat untuk menggenggam ideologi tertentu untuk memporak-porandakan keindahan negeri yang berjuluk jamrud khatulistiwa ini.
Mereka tergenjot oleh adicita yang utopis untuk merubah tatanan dan ideologi bangsa yang sudah menjadi kesepakatan semua komponen bangsa sejak Republik ini berdiri. Untuk itu, penulis mengajak semua pembaca budiman mari berpikir jernih dan berlogika sehat, kita baca kembali sejarah untuk melihat bagaimana harmonisnya founding father kita seperti disaat merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam.
Jelas dan sangat jelas bahwa para perumus Pancasila dahulu dalam usahanya mempersatukan bangsa Indonesia, tidak pernah mempertentangkan agama dan Pancasila, terkhusus Islam. Justru Pancasila itu butuh bantuan dari agama untuk bisa benar-benar di implementasikan sebagai pencegah disentegrasi.
Sepengetahuan penulis dari berbagai referensi yang berhasil dihimpun penulis bahwa, dahulu para perumus bangsa legowo dengan berbagai macam tafsir Pancasila yang masih wajar dan tidak mengangkangi agama. Masing-masing berjuang menyampaikan aspirasi sesuai adabnya. Sehingga upaya membenturkan Islam atau agama Islam dengan Pancasila harus dihentikan sebagai bukti perjuangan menjaga integrasi bangsa ini.
Menurut hemat penulis, menjaga integrasi bangsa dan menjaga toleransi antar ummat beragama dengan tujuan mulia untuk merajut ukhuwah (persaudaraan) dan ke-Bhinnekaan Tunggal Ika merupakan suatu keniscayaan yang mutlak diperjuangkan, dipertahankan dan dilestarikan sebagai jati diri khas anak bangsa Indonesia yang mengutamakan esensi ukhuwah Islamiyah dan untuk semua insan ciptaan Allah SWT ini.
Menjaga integrasi bangsa merupakan tanggung jawab bersama ummat beragama yang ada di Indonesia, tanpa terkecuali. Begitu juga sebaliknya, menjamin keamanan ummat beragama yang ada di Indonesia dalam menjalankan ajaran agamanya menjadi tanggung jawab negara.
Akan tetapi, kedua tanggung jawab ini bukan berarti sesuatu berjalan terpisah, melainkan keduanya berjalan dengan saling menguatkan. Kita tidak bisa menuntut keamanan menjalankan ajaran agama, kalau dalam prosesnya kita sendiri tidak menghormati ajaran agama orang lain atau kita yang memancing rasa tidak aman umat beragama lainnya. Justru salah satu sikap beragama yang baik adalah dengan cara menghormati agama orang lain.
Disini penulis juga menjelaskan sedikit akan hakikat kebhinnekaan masyarakat Indonesia sebagai anugerah Tuhan. Sebagai negara bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan heterogenitas atau kebhinnekaan masyarakat sebagai warga negara. Ini realitas yang harus diterima oleh kita sebagai warga negara yang baik dan memahami akan adanya perbedaan. Sedangkan secara terminologi adalah faham kemajemukan atau atau faham yang berorientasi kepada kemajemukan yang memiliki berbagai penerapan yang berbeda dalam berbagai filsafat agama, moral, hukum dan politik dimana batas kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan didepan ketunggalan.
Pemahaman pluralisme tidak cukup hanya dengan mengakui dan menerima bahwa masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, tetapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus dan ikhlas menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan yang tak ternilai kepada manusia, akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran budaya yang beraneka ragam. Dalam hal ini pluralisme juga merupakan suatu perangkat untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa.
Oleh karena itu dewasa ini wacana Islam dan pluralisme masih tetap hangat dibicarakan, paling tidak di Indonesia. Persoalan ini tetap menarik karena secara obyektif Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi, baik secara fisik maupun sosial budaya.
Secara fisik, Indonesia terdiri dari beribu-ribu yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Selain itu, Indonesia tercinta kita dari berbagai suku, etnis, bahasa, adat istiadat bahkan agama. Sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut QS Ar-Rum ayat 22:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum ayat 22)
Ayat diatas menunjukkan bahwa kebhinekaan memang dikehendaki Tuhan, sehanya saja perbedaan itu dalam kerangka yang lebih baik lagi. Islam mengajarkan persamaan diantara sesama manusia, dan oleh karena itu Islam juga sangat mengutuk perlakuan diskriminatif diantara sesama manusia dan merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga merendahkan martabat orang lain.
Perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, jenis kelamin, dan lain sebagainya bukan merupakan alasan manusia yang satu memiliki derajat yang lebih tinggi diantara yang lainnya. Karena pada kenyataannya yang membedakan manusia dihadapan Tuhan ialah ketaqwaan-nya.
Sebagaimana diketahui bahwa kebhinnekaan merupakan pengakuan adanya kebhinekaan selama orde baru, Bhinneka Tunggal Ika sering dijadikan selogan, karena maknanya telah direduksi menjadi ke-eka-an dengan doktrin uniformity-nya. Kebhinekaan harus dipahami sebagai keniscayaan, karena tidak ada yang dapat menghilangkan kebhinekaan. Mengenai perbedaan ini, Allah SWT katakan dalam firman-Nya dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu sekalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguh-nya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Al-Hujurat ayat 13)
Ayat diatas menunjukkan bahwa kebhinekaan memang dikehndaki oleh Tuhan Yang Maha Esa, hanya saja perbedaan itu dalam kerangka yang lebih baik. Islam mengajarkan persamaan diantara sesama manusia dan oleh karena itu Islam juga sangat mengutuk perlakuan diskriminatif diantara manusia dan merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga merendahkan martabat orang lain.
Jadi, esensi dan hakikat toleransi dalam merajut ukhuwah (persaudaraan) sesama anak bangsa Indonesia demi tegak kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam menjaga esensi kebhinekaan tunggal ika mutlak kita upayakan.
Terakhir penulis mengutip statemen yang disampaikan sosok mantan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga merupakan fakar tafsir Indonesia dan juga merupakan Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Kairo Mesir Cabang Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) Ustadz Dr. H. M. Zainul Majdi,Lc.,MA Al-Hafidz didalam pesan intisari singkat disampaikan beliau saat beliau menyampaikan khutbah jum’atnya di Masjid Raya Baitul Izzah (MRBI) Provinsi Bengkulu pada kemarin Jum’at 16 Juni 2023 bahwa, apapun jenis perbedaan kita, beda partai politik, beda warna kulit, beda pandangan, beda pemikiran, beda pilihan, beda ormas, beda pemahaman dan lainnya jangan jadikan sebagai bentuk pertikaian dan perselisihan serta perpecahan atau permusuhan diantara kita melainkan jadikan sebagai motivasi dan inspirasi dari kesuksesan yang diperoleh seseorang tersebut pada diri kita, sehingga dari sinilah esensi kebangsaan dan kebhinekaan tunggal ika kita sebagai anak bangsa Indonesia untuk merajut ukhuwah (persaudaraan) dan kebhinekaan tunggal ika akan semakin kokoh dan kuat sehingga negara lain atau bangsa lain diluar kita Indonesia bisa menjadikan bangsa Indonesia sebagai rujukan atau referensi bagi mereka untuk belajar menoleh bangsa Indonesia jika anak-anak bangsanya, putra-putri Indonesianya sangat mengutamakan dan memprioritaskan esensi toleransi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dan ending dari semua ini nanti akan terwujud baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur yang artinya sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya yang baik beretika. Wallahu’alam bishawab.