Oleh: DEMPO XLER
Persoalan terbesar dan merupakan masalah yang tak kunjung selesai yang terjadi antara negara dengan kekuasaannya dan masyarakat dengan kebutuhannya selama puluhan tahun berjalan adalah persoalan utama tentang "Akar Kemiskinan."Almarhum Dr. Soedjatmoko, seorang intelektual besar Indonesia dalam sambutan ilmiahnya di Yogyakarta pada tahun 1988 menyatakan,
"Ada suatu skandal besar yang terjadi di dunia sekarang ini dilihat dari segi etika, yakni ketidakmampuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengatasi masalah kemiskinan di muka bumi ini..."
Kemiskinan, merupakan keadaan seorang individu tidak sanggup memelihara dirinya dengan taraf kehidupan kelompok yang ada dalam masyarakat serta tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga, mental dan fisiknya untuk mencapai taraf kehidupan kelompok tersebut. (Soerjono Soekanto).
Keadaan ini, tidak hanya menimbulkan masalah bagi individu tetapi juga menimbulkan masalah bagi keseluruhan masyarakat di sekitarnya terutama masalah serius bagi negara dan semua pelaku pemerintahan di dalamnya.
Bukan rahasia umum, kalau akar kemiskinan itu sendiri dimulai dari manipulasi dan eksploitasi kemakmuran sosial masyarakat dari sebuah bangsa. Mulai dari penguasaan sumber daya alam sampai kepada sumber-sumber permanen pembangunan manusia secara sepihak. Semua ini dilakukan oleh setiap orang yang merasa menjadi pemilik kekuasaan dan merasa menjadi pemilik kapitalisasi modal yang hanya ingin menaikkan dan merestorasi status sosial mereka lebih tinggi dan ketinggiannya melebihi manusia lain.
Akibatnya, perlakuan ini kemudian menjadi komuditas yang mencair dan membaur tanpa adanya sekat yang membatasi terhadap seluruh kehendak, perilaku, hubungan sosial dan moralitas hidup manusia dan menjamur hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat baik dalam institusi pribadi, kelompok, golongan, perwakilan dan parlemen bahkan lebih berpengaruh besar terhadap sebuah pemerintahan bangsa dan negara.
Lebih tepatnya, perbuatan manipulasi dan eksploitasi terhadap hak-hak warga negara tersebut terakumulasi dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang sampai dengan saat ini tetap mengakar dan terkadang telah berubah dalam bentuk atau wujud baru yang lebih elegan, populis dan terbuka secara umum.
Prakteknya bisa terjadi dalam berbagai lapisan modus atau sistem kerja formal, informal maupun non formal.
Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tidak pernah terganjal dengan kemajuan teknologi atau era digitalisasi yang telah mewakili kemajuan cara berpikir dan cara pandang untuk kemajuan, karena ia secara bersama-sama telah di sokong oleh kekuatan luar (Hidden Fower) yang di dalamnya terdapat aktor intelektual dan kekuatan politik yang selalu mendramatisir suasana agar mampu mengatasi persoalan yang akan menghancurkan semua agenda tentang kehendak menguasai hak-hak dan harta kekayaan setiap warga negara.
Bahkan banyaknya gelar pendidikan yang diperoleh seseorang dari jenjang pendidikan yang tinggi sekalipun atau bahkan bergelar luar negeri seperti Ph.D dan Profesor, tidak akan mampu menahan praktek tersebut yang memang telah memasuki ranah nilai kemanusiaan dan etika atas nama kemajuan dan pembangunan masyarakat sebuah bangsa.
Mereka para pelaku akademik formal yang mendapatkan gelarnya dari berbagai perguruan tinggi yang "katanya" akan digunakan untuk kepentingan pencerdasan dan pencerahan umat manusia sekaligus menjadi agen perubahan yang hebat, malah lebih banyak memberikan teoritisasi yang dampaknya imajener (penunjukkan tanpa tujuan) tanpa perbuatan yang sesuai dengan pengabdiannya di perguruan tinggi.
Teoritisasi yang terdapat dalam berbagai sudut pandang dan telah disampaikan secara luas, lebih tepatnya disebut kumpulan tumpukan kertas yang rapi, indah di pandang dan di dengarkan, namun tidak bisa disentuh dan digunakan.
Semuanya tertutup untuk melakukan aktifnya sebuah aksi dan reaksi dari gerakan bersama dalam membendung dan membentuk benteng pertahanan dari perlakuan buruk kekuasaan dan kapitalisasi modal yang menimbulkan banyak kemiskinan di masyarakat.
Bukan ingin memberikan stigma atau ikut mendiskreditkan pelaku akademik dari berbagai bidangnya, namun kenyataan teoritisasi akademik hari ini, belum pernah menyentuh wilayah substansial, yakni kebutuhan masyarakat akan keinginannya untuk berubah dan menjadi lebih baik, terutama mengurangi iklim kemiskinan yang di derita selama bertahun-tahun.
Dalam konteks ini, jenjang edukasi, alur kerja dan sistematika akademik yang telah terformulasi secara baik, yang dilakukan oleh negara dan banyak pihak yang terlibat di dalamnya, tidak menunjukkan prestasi akademik yang dapat mengubah wajah masyarakat miskin menjadi lebih baik.
Sekalipun banyaknya modelasi pendidikan yang berlaku di muka bumi ini.
Pergerakan dan pengolahan akademik baik dari lembaga dan pelaku utamanya, hanya melakukan putaran pemberlakuan pengolahan imajinasi akal berpikir yang terstruktur, tidak mengajak dan beranjak pada penerapan alat pikir dalam bentuk perbuatan yang dirasakan secara langsung, dinikmati dalam bentuk karya dan di sebarluaskan dalam kehidupan demi menciptakan perubahan dan hadirnya kebaikan terutama dalam bidang kemiskinan hidup di masyarakat.
Friedman, seorang sosiolog Jerman menyebutkan bahwa kemiskinan, "Merupakan ketidaksamaan kesempatan yang diperoleh seseorang untuk dapat memformulasikan kekuasaan sosial berupa aset, sumber keuangan, barang atau jasa, organisasi sosial, politik, jaringan sosial, keterampilan, pengetahuan serta informasi."
Pengertian ini jelas menunjukkan adanya keinginan yang harus di dapatkan oleh seseorang melalui tindakannya dalam melakukan penguasaan tertentu melalui praktek-praktek manipulasi dan eksploitasi.
Disini dituntut, para kelompok terpelajar untuk berjibaku dan memulai dari dirinya sendiri untuk ikut berperan aktif membantu menyelesaikan akar kemiskinan yang ada di masyarakat. Karena tanggungjawab ini harus dipikul bersama oleh setiap anak bangsa.
Kita tidak boleh lagi melihat masyarakat dari warga negara Indonesia yang tidak mendapatkan pasilitas yang lebih baik dalam berbagai bidang yang ingin mereka dapatkan. Apalagi harus membuang waktunya untuk belajar hanya karena banyaknya kekurangan hidup yang mereka dapatkan.
Kaum terpelajar hari ini, harus menjadi motor penggerak yang tidak hanya mentransformasikan keilmuan tetapi juga menjadi mekanik yang turun langsung ke lapangan untuk memberikan pembelajaran yang menjauhkan masyarakat dari kemiskinan.
Kesadaran ini, tidak boleh menunggu waktu atau menunggu orang lain yang memulainya terlebih dahulu. Mulailah dari diri kita sendiri untuk terus menerus memberi kata dan perbuatan pasti agar nilai akademik dan gelar yang melekat dapat bermanfaat luas bagi masyarakat. (DX-02)
Penulis adalah : Ketua Komisi I DPRD Propinsi Bengkulu. (AM)