"Satu baris puisi mungkin akan memakan waktu berjam-jam untuk diselami; Namun jika baris itu sepertinya bukan merupakan gagasan yang muncul dalam sekejap, usaha kita menelaah dan memahaminya sia-sia saja" ( Adam's Cursed, William butler Yeats, 1865-1939 dalam Robert Greeny halaman 382)
Kita mungkin berpikir sangat mudah saat menjadi seorang Gibran. Saat menjadi putra seorang Presiden, apa saja bisa terjadi sesuai kehendak Presiden itu sendiri. Tapi, penglihatan latar depan ini sengaja ditonjolkan. Untuk menunjukkan keramahan kekuasaan agar gampang publik untuk menyampaikan kritik.
Menelanjangi diri, untuk lebih terlihat sebagai karakter yang tidak tahu apa-apa, seolah-olah hal ini begitu mudah, siapa saja seolah-olah memungkinkan bisa melakukan tindakan serupa - Jika aku anak seorang Presiden.
Bicara secukupnya, terkesan ngelantur dan tidak nyambung, adalah bumbu yang sengaja ditampilkan. Saat ada yang sengaja membajak profile seorang Gibran untuk dijadikan meme, atau memotong bagian video untuk menyerang titik "bodoh" seorang Gibran. Publik pun ingin menyampaikan gagasan lain melalui kritiknya.
Perdebatan demi perdebatan berjalan terus, tapi sosok Gibran apik menampilkan sisi bodoh dan sopan. Sedikit mengarah pada frasa moral tinggi, saat beberapa pidatonya menyampaikan kepada massa tentang kesetiannya kepada pasangan Capres nya " Tenang pak Prabowo, saya sudah ada disini".
Makna lain dari ini bukanlah kesedian Gibran itu sendiri, tapi pernyataan " tenang saya ada disini" adalah gerbong kekuasaan itu sendiri. Artinya Prabowo dan Gibran berada dalam dukungan kekuatan kekuasaan secara penuh maka tenang, kita akan menang.
Kalimat sederhana, tidak bertele-tele mengalir secara konstan dari seorang Gibran. Ini sederhana mudah dicerna dan dikritik. Lagian juga Gibran akan menjadi lucu jika ingin bicara politik kariernya didepan Mahfud dan Cak Imin.
Tidak, kekuasaan tidak sedang ingin menampilkan perbandingan bobot profile karier politik. Tapi kekuasaan sedang menampilkan hal yang profan, hal yang sederhana, seperti kesederhanaan dari monster Jokowi.
Bisakah kita menelaah lebih jauh seni peran dari drama pilpres ini? Kekuasaan tidak mungkin menunjukkan sisi kekuatan Dewa nya, tapi dia hanya menampilkan Efek ( Robert Greeny). Kekuasaan tidak mungkin juga melakukan format persaingan secara intelektual terhadap para lawannya. Tidak mungkin hal itu terjadi untuk Pilpres kali ini.
Bisakah kita membangun argumen Jokowi adalah proses "Monsterisasi" kekuasaan? Artinya sosok Jokowi yang kita pahami hari ini adalah simbol semata. Jokowi sebenarnya adalah apa yang tersembunyi jauh dibelakang layar - Sang Levhiatan
Tapi karena drama ini penuh perancangan, saat kita menyelami bagian-bagiannya, ada banyak bagian lagi yang tidak mampu terselami.
Kekuasaan sedang menampilkan "sprezzatura" suatu seni dalam permainan kekuasaan, dimana para aktor, para punggawa kekuasaan menampilkan hal sulit tampak mudah. Kemahiran dalam mengatur ritme permainan sengaja disembunyikan. Rencana dari beberapa tahun yang lalu untuk menjalani rencana besar dalam mempertahankan keberlangsungan kekuasaan tampak semata-mata cuma sekedar mengobok-obok Konstitusi.
Padahal Kerja keras, skrip drama yang ditulis beribu lembar tidak terlacak oleh publik. Kepentingan besar apa yang menggelinding saat sosok Gibran diajukan ke Publik hilang dari pengamatan
Demi apa semua ini dilakukan? Selain pembicaraan tentang kebutuhan untuk kekuasaan langgeng, kepentingan ekonomi yang bisa berjalan. Tapi sisi lain yang perlu dilihat adalah, Jokowi sedang memainkan menampakkan sisi monsternya melalu jalan mempercantik, memperindah permainan.
Bukankan didalam politik kekuasaan , Kepiawaian para aktor akan teruji jika publik tertipu dan tidak memahami maksud dari drama kekuasaan? Adalah Gibran sebagai sosok keramahan kekuasaan Jokowi yang dipertahankan untuk membuka diri agar dikritik.
Hasilnya menjadi lebih tidak beresiko. Para lawan tidak berusaha untuk menyelami kepentingan besar dari "Gibran" sebagai seolah-olah aktor utama. Serangan terhadap lawan politik Gibran hari ini adalah bahwa seorang Gibran adalah sosok karbitan, aji mumpung anti intelektual.
Bayangkan pembicaraan positif tentang Gibran berdampak pada menaikkan elektabilitas Gibran. Mengkritik habis-habisan seorang Gibran akan menaikkan elektabilitas Gibran. Dan senyatanya lawan politik Gibran ( lawan politik Jokowi) hari ini sedang melakukan serangan demi menaikkan elektabilitas seorang Gibran.
Sekali lagi sprezzatura adalah Seni lama sejak zaman Monarki yang dimiliki dan digunakan oleh para punggawa kerajaan. Suatu seni ketidakpedulian tertentu, untuk menyembunyikan semua seni dan melakukan apa pun yang dilakukan atau dikatakan tampaknya tanpa usaha dan hampir tanpa pemikiran apa pun tentang hal itu ( Baldassare Castiglione/lihat juga Wikipedia tentang beberapa karya Castiglione)
Penulis: Ronald Reagen