Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

HUTANG

Kita menyaksikan, dalam keseharian, peristiwa-peristiwa politik begitu cepat mengantarkan kita kedalam pertengkaran yang tidak berguna. Suka cita dukungan, berikut cercaan beradu nyali-setidaknya menghadirkan gambaran intelektualitas kanak-kanak- membicarakan seberapa besar peluang kemenangan.

Padahal, kondisi praktikal, menginsyaratkan kebiasaan yang tidak bisa kita hubungkan nalarnya. antara kemenangan politik, dan kegunaan kekuasaan itu demi menyusun kebijakan yang baik. Katakanlah, dimana semua orang yang terlibat didalam peristiwa itu harus bertanggung jawab. 

Pertaruhan moralitas, sekaligus posisi etik intelektualism tidak mampu melepaskan jurang antara kebutuhan-kebutuhan populer masyarakat secara luas dengan keterpilihan seseorang sebagai pemegang tuas kebijakan.

Kembali ke abad 20, atau bisa kita mundurkan sedikit ke abad 19, semasa pertarungan ideologi imperialism dengan nasionalism,atau setidaknya penentangan secara massal terhadap imperialisme-karena makna nasionalism belum dibenturkan dengan kehadiran negara merdeka- masyarakat berjibaku, mengambil peran-peran khusus ikut mengambil bagian perlawanan. 

Sementara itu, di Eropa, pokok Internasionalism telah terjaring didalam pandangan para tokoh-tokoh politik sekaligus ideolog. Antara benturan kapitalism dan komunism/marxism menjadi bagian penting dari perang urat syaraf.  

Lenin menginsyaratkan manifestasi negara akibat dari kontradiksi yang tidak mampu didamaikan oleh mahkluk bernama negara. Dalam Negara dan Revolusi,  kita menemukan beberapa sanggahan dan pernyataan Lenin tentang hal ini. Penentangan ini dimunculkan akibat dari hasil internasionale ke II, berikut pernyataan-pernyataan dramatik Karl Kautsky yang dianggap menyebrang ke kubu Borjuis,- merampok marxisme kedalam pemahaman dia yang ekletis-Senada juga dengan pertentangan Engels dengan Duhring.

Selepas dari kelelahan memegang ideologi. Pandangan-pandangan lama ini kian tergerus. Ajaran-ajaran perlawanan tidak lagi menjadi pokok pembicaraan yang penting-setidaknya melepaskan ikatan tanggung jawab intelektualism.

Kita tidak bisa  menggantungkan cita-cita peradaban kepada satu kelompok saja  atau katakanlah terjadi pemahaman antara anak muda dan kaum tua. Semua berperan mengambil bagian menciptakan kekusutuan. atau semua berperan mengambil bagian dari kemajuan.

Pandangan Seyyed Hoesen Nasr; tujuan kemunculan manusia demi memperoleh pengetahuan total tentang benda,menjadi manusia universal, dan sebagai cermin yang memantulkan sifat Allah. Hutang besar yang Nars ajukan dari tujuan eksistensi manusia dimuka bumi, mau tidak mau harus dijadikan patokan dalam memahami bagaimana peradaban dilanjutkan. Kepada siapa pula dalam berbagai macam kategori eksistensi ini mendapatkan surplus valuenya. 

Manusia Universal mungkin hipothesanya adalah sebagai wujud internasionale, dimana antara kekuasaan, pusat-pusat studi, kebudayaan masyarakat adalah utuh kedalam konsep yang bernama manusia. Bagian-bagian dari konsep ini tidak boleh terlepas, saling kontradiktif.

Pandangan yang diteguhkan, sebagai visi, dalam kajian Utilitian, atau pun secara etik, adalah tanggung jawab bersama. 

Mari kita saksikan, bagaimana kampus kita, sebagai wujud dari bengkel kerusakan moral memutus tali penghubung dari sisi universalnya. Kutukan renaisance yang dibawa oleh Descartes mewujud kedalam kajian positivis setidaknya sampai hari kita saksikan.

 Kampus sebagai subjek, mengambil apa saja yang mereka butuhkan dari seluruh unsur-unsur endemis yang dimiliki oleh masyarakat. Misalnya studi tentang masyarakat adat. Kita saksikan, dalam macam acara penelitiab, aneka kekhasan/bagian endemik, masyarakat kita dinaikkan kepermukaan, dijadikan bahan studi. Nilai prestisius dari hasil kajian ini, sialnya, tidak kita jumpai dampaknya bagi eksistensi objek itu sendiri. Produk-produk yang berbentuk kebudayaan endemis itu berakhir pada teks, mengangkat harkat dan martabat intelektualitas si Peneliti, tetapi tanggung jawab moral-etik- bagi objek penelitian perlu kita kaji kembali. Hasil olah pikir tentang keberadaan dari bukti pemikiran pencerahan ini menyempit kedalam usaha prestisius tanpa menghadirkan imbal balik bagi si diteliti.

Lalu bagaimana beban etis ini dilunaskan? Apakah perlu kiranya kita mengkaji ulang, perlunya di buka sekolah-sekolah ala Filsup era Socrates sampa Aries Toteles?Agar Semua mengambil bagian dari kebijaksanaan ini. membuktikan kehadiran sebagai wujud manusia Universal. Bukan semata-mata berlandaskan kritik yang berbuah komoditi/alat tukar? 

Semoga kita memahami, hutang terbesar kaum intelektual adalah pada keberadaan/eksistensinya sendiri. Bukankah masyarakat miskin telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk kita jadikan komoditi?

"Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat,"sesungguhnya aku hendak menciptakan/menjadikan seseorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata, mengapa engkau hendak menciptakan (khalifah) dimuka bumi itu, seseorang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan menyucikan engkau?

 Tuhan berfirman" sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui"

Al-Baqarah Qs : 30-32.

Wallahualam.