Apdian Utama |
Pasar Bebas adalah kegiatan jual beli yang bebas dan dilakukan sesuka hati sehingga mampu melahirkan pesaingan ekonomi lebih luas tanpa campur tangan pemerintah. Sementara menurut Bapak Ekonomi, Adam Smith, Pasar Bebas adalah pasar yang memberikan sebuah kebebasan pada masyarakat untuk melakukan jual beli.
Dalam ekonomi pasar bebas, apapun bisa menjadi komoditas selama memliki nilai jual. Akhri-akhir ini, menjelang hari pencoblosan Pemilu serentak tanggal 14 Februari 2024 nanti, ada satu ‘komoditas’ yang nilai jualnya tiba-tiba meroket sangat tingg, yakni Suara Rakyat.
Pasar bebas jual beli suara semakin ramai. Pasar ini pun terbentuk karena adanya kandidat yang berusaha membeli suara dan ada rakyat yang sengaja ataupun tidak sengaja menjualnya. Sehingga praktik politik uang yang dialkukan oleh Calon Legislatif maupun Calon Eksekutif sudah dianggap lumrah dan biasa saja terjadi di masyarakat.
Berdasarkan hasil Survey Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) yang dikutip dari dari Lampung.rilis.id yang diterbitkan pada 24 November 2023, 60 persen lebih responden mengaku akan menerima politik uang. Dari jumlah tersebut, 64 sampai 76 persen diantaranya lebih memilih pemberian uang ketimbang barang. Sementara 23 sampai 35 pesen responden yang memilih pemberian barang berbentuk sembako, bibit, pupuk, alat pertanian dan lain-lain.
Mengenai efektifitas politik uang, 49 persen responden di Pulau Jawa menjawab akan mengikuti arahan pemberi politik uang. Besaran persentase ini lebih besar di Kalimantan dan Sumatera, yakni 60,35 persen dan 54,15 persen.
Ironisnya lagi, mengutip dari hasil Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada tahun 2029, sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang adalah hal yang biasa. Sehingga pasar bebas politik uang bukanlah hal yang tabuh dan memalukan di tengah masyarakat. Bahkan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, ada slogan “Ada uang, Ada suara”.
Politik uang menjadi syarat wajib bagi setiap calon pejabat yang akan mencalonkan dirinya dalm proses pemilihan umum baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah, guna mendapatkan benefit dalam bentuk suara terbanyak dari masyarakat (Lin Ulfa Fitriani, dkk, 2019). Para Calon legislatif dan Calon Eksekutif menjadikan politik uang sebagai sarana kampanye ampuh untuk memenangkan kontestas. Padahal, plitik uang merupakan sebuah bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma agama.
Meskipun telah banyak aturan, larangan dan upaya yang dilakukan berbagai stakeholder kepemiluan, namun tradisi politik uang semakin subur tumbuh berkembang di masyarakat. Di tengah tingginya angka politik uang, namun nyaris tidak ada penyelesaian pidana kasus politik uang atau yang lebih populer dengan sebutan serangan fajar.
Partisipasi Masyarakat
Pemilu Legislatif tahun 1971 merupakan Pemilu denga tingkat partisipasi pemilih tertinggi sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia, tingkat partisipasi pemilih mencapai 96,6 persen. Selanjutnya pada Pemilu Legislatif pertama kali di era reformasi, tingkat partisipasi pemilih mencapai angka 92,7 %. Kemudian angka partisipasi Pemilu Legislatif menunjukkan penurunan hingga Pemilu 2009. Namun tingkat partisipasi Pemilu Legislatif menunjukkan peningkatan menjadi 75,11 % pada Pemilu 2014 dan kembali meningkat mencapai 81,69% pada Pemilu 2019. (Katadata.co.id).
Berdasarkan hasil Survey Lembaga Survey Nasional yang dipublish tempo.co pada 26 Maret 2014, masih kurang 40 persen pemilih yang bersedia menerima politik uang pada pemilu 2009. Angka tersebut meningkat menjadi 69,1 % publik mnegaku bersedia menerima politik uang dari Caleg atau Partai pada Pemilu 2014. Sementara berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lemabag Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 77 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu pada Pemilu 2019 lalu.
Jika kita lihat data tersebut di atas, tampak ada korelasi positif antara tingkat politik uang dan partispasi pemilih. Semakin tinggi tingkat politik uang, maka partisipasi pemilih terus meningkat. Hal tersebut bisa kita lihat dari Pemilu 2014 dan 2019 yang angka partisipasi pemilih meningkat, namun tingkat politik uang juga meroket.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP RI) Ratna Dewi Pettalolo mengatakan angka kemiskinan di sebuah daerah menentukan penerimaan masyarakat akan politik uang dalam gelaran Pemilu (Mediaindonesia.com). Sehingga perilaku politik uang dan jual beli suara akan sulit dimusnahkan dalam setiap Pemilu. Terlebih lagi, laksana Pasar Bebas, Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghentikan arus jual beli suara. Regulasi yang ada sengaja dilemahkan, atau memang negara lemah melawan kecurangan politik uang.
Kembali ke permasalahan partispasi masyarakat, sudah sepatutnya masyarakat diberikan ruang gerak yang luas untuk berpartisipasi dalam setiap pesta demokrasi. Tidak hanya terbatas pada partisipasi menggunakan hak suara, namun juga diberikan wadah untuk menambah wawasan kepemiluan dan berpartisipasi dalam mewujudkan pemilih cerdas, termasuk mencegah dan melawan politik uang.
Perlawanan terhadap politik uang harus lebih dimassifkan dan Rakyat selaku pemilih harus lebih dicerdaskan. Banyak hal sederhana yang bisa dilakukan. Misalnya dengan cara mensosilisasikan fatwa MUI tentang Politik Uang Haram. Sosialisasi bisa dilakukan dengan memasukkan materi memilih pemimpin yang baik dan larangan politik uang pada Khutbah Jumat di Masjid-Masjid. Hal ini bisa melibatkan partisipasi masyarakat, seperti pengurus Rumah Ibadaha, Masjid, Da’i, penceramah dan ulama.
Penyelenggara Pemilu, baik Bawaslu maupun KPU memiliki perangkat di setiap desa/kelurahan hingga Tempat Pemungutan Suara (TPS). Perangkat penyelenggara ini bisa digerakkan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk mejadi pemilih yang cerdas dan berwawasan, termasuk materi tentang fatwa, bahaya dan larangan politik uang. Misalnya saja dengan membagikan pamflet tentang fatwa haram dan larangan politik uang dengan mendatangi rumah-rumah warga dan pusat keramaian.
Penyelenggara Pemilu juga bisa membentuk Duta Pemilih Cerdas atau Duta Anti Politik Uang dengan menggalang partisipasi masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan elemen lainnya. Selain itu, masyarakat akar rumput harus terus diedukasi menjadi pemilih rasional yang cerdas untuk mendapatkan pemahaman tentang kepemiluan dan demokrasi yang sehat. Masyarakat harus dilatih terkait tata cara dan teknis pelaporan pelanggaran pemilu. Karena kebanyakan masyarakat tidak tahu dan masih buta tentang tata cara memasukkan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Apalagi penyelenggara Pemilu hanya akan memproses laporan yang sesuai dengan format laporan yang telah ditetapkan.
Menjelang hari pencoblosan Pemilu 2024, kita semua tentunya berharap agar pesta demokrasi ini benar-benar menjadi pesta yang menyenangkan dengan menghasilkan pemimpin yang bisa membahagiakan rakyat. Atau sebaliknya, layaknya sebuah pesta, rakyat hanyalah menjadi tamu lima tahunan di rumahnya sendiri. Semoga partisipasi pemilih tinggi dengan kualitas pemilih semakin membaik. Mari memilih dengan mata hati, bukan dengan mata uang!
“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa,” Franz Magnis Suseno. (**)
Penulis adalah Jurnalis di Pedomanbengkulu.com dan Kontributor TVRI Bengkulu