PedomanBengkulu.com - Revisi UU Polri banyak menuai kecaman dari para aktivis dan praktisi hukum, sementara pihak Istana mengaku sedang melakukan telaah atas draft UU tersebut sebelum diajukan ke DPR.Revisi UU Polri dan UU TNI telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 28 Mei 2024 lalu.
“RUU terkait sudah diterima Setneg hari Jumat siang minggu lalu, saat ini masih dalam proses penelaahan untuk proses selanjutnya,” beber Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono dihadapan wartawan, 13 Juni 2024.
Prof Dr Mahfud MD, saat menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengatakan bahwa di negara demokratis seperti Indonesia tidak boleh ada lembaga pemerintah yang memiliki kekuatan berlebih atau superbody serta tanpa pengawasan dari rakyat.
Superbody adalah memiliki kewenangan ekstra dibanding dengan lembaga negara lain.
Praktisi Hukum Mayor Chk (Purn) Marwan Iswandi SH MH, merasa prihatin usai membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Revisi Undang-Undang Polri Tahun 2002 itu, terutama pada Pasal 16 B Ayat (2) yaitu menjadikan salah satu tugas pokok Polri ikut mengatasi pemberantasan separatisme.
“Menurut hemat saya tugas tersebut bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 30 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum,” tulis Marwan Iswandi melalui rilisnya.
Menurut Marwan yang juga Pengacara Pegi dalam kasus Vina Cirebon itu, turunan dari UUD 1945 adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang mana dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa Polri bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
“Berdasarkan hal tersebut, revisi Undang Undang Polri yang sekarang ini sangat bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 30 ayat (4), dimana Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi melayani masyarakat serta penegakkan hukum,” tandas Marwan.
Sementara untuk mengatasi terorisme dan separatisme, sambungnya, sudah menjadi tugas pokok TNI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dimana dalam Pasal 7 Ayat (2) dinyatakan tugas pokok TNI diakukan dengan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) diantaranya yakni mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata dan mengatasi aksi terorisme.
“Undang Undang TNI itu cantolannya ya adalah UUD 1945 Pasal 30 Ayat (3) tentang pertahanan dan keamanan negara dimana TNI terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara, tidak ada menyebut Polri. TNI bertugas mempertahankan dan melindungi serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.” ujarnya.
“Karena itu saya meminta kepada DPR dan Presiden untuk mengkaji ulang pasal-pasal dalam revisi Undang Undang Polri tersebut yang bukan menjadi ranah kewenangan kepolisian dalam memberantas separatis, dan ada kekhawatiran kelak akan menimbulkan gesekan antara kedua institusi negara itu dalam menjalankan tugasnya,” ucapnya.
“Bila RUU Revisi Undang Undang Polri tetap dilanjutkan DPR, maka kami akan melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Karena itu hendaknya DPR sebelum ketuk palu, hendaknya melakukan harmonisasi dan sinkronisasi atas revis UU Polri tersebut dengan undang-undang lainnya,” tandas Marwan.
Ia juga mengkritisi, soal pemberantasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, yang sebenarnya bukan tugas Polri, melainkan sudah menjadi tugas TNI sesuai bunyi undang undang yang berlaku.
“Ciri-ciri separatis adalah adanya bendera, ada kelompok bersenjata dan ada pernyataan ingin memisahkan diri dari NKRI dan unsurunsur itu sudah terpenuhi semua dan itu adalah tugas TNI mengatasinya,“ demikian dikatakan Praktisi Hukum Mayor Chk (Purn) Marwan Iswandi SH MH.
Kewenangan ekstra lebih yang melebihi tugas pokoknya dalam RUU Polri memperluas sejumlah tugas Polri, seperti memblokir, memutus, memperlambat ruang siber, penggalangan intelijen, penyadapan dan pengawasan.
Menurut Marwan, revisi RUU Polri juga telah memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat, termasuk hak memperoleh informasi dan hak warga negara atas privasi terutama di media sosial dan ruang digital.
Hal itu termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) RUU Polri yang memberi kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan di ruang siber. Sekaligus kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Tindakan-tindakan yang dilakukan Polri seperti memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, bisa diartikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat dalam kebebasan berekspresi dimuka umum.
"Masih banyak lagi kewenangan Polri yang melebihi batas. Karena itu revisi RUU Polri harus ditolak atau minimal ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang yang lainnya, sehingga tidak semua yang ada di Republik Indonesia ini menjadi kewenangan Polri yang menjadikan Polri superbody," demikian dikatakan Praktisi Hukum Mayor Chk (Purn) Marwan Iswandi SH MH.