PedomanBengkulu.com, Lebong - Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Kabupaten Lebong tahun anggaran (TA) 2025, dinilai memunculkan persoalan. Dimulai dari legalitas Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Lebong, tidak dipimpin oleh Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) yang sah atau yang mengantongi SK Gubernur Bengkulu. Jika pembahasan R-APBD Lebong 2025 terindikasi unprosedural, maka pembahasan dan Perda APBD yang dihasilkan bisa dianggap tidak sah yang terancam mendapatkan sanksi.
Terdapat beberapa sanksi jika pembahasan APBD yang tidak sesuai aturan, meliputi penundaan gaji Kepala Daerah dan anggota DPRD selama 6 bulan. Selanjutnya, tidak mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat, serta adanya penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) bulan berikutnya.
TAPD merupakan badan yang membantu Kepala Daerah dalam proses penyusunan APBD, namun berbanding terbalik dengan pernyataan Plt Bupati Lebong Fahrurrozi, yang tidak pernah mendapatkan laporan sejauhmana pengajuan eksekutif dan legislatif, termasuk pejabat yang menyampaikan nota pengantar R-APBD dalam paripurna yang mengatasnamakan Bupati Lebong tanpa mandat darinya. Sehingga terbitlah surat dari Plt Bupati kepada Ketua DPRD Lebong terkait permasalahan tersebut.
Kemudian muncul pernyataan Ketua DPRD Kabupaten Lebong Carles Ronsen yang mengklaim, bahwa pelaksanaan tahapan pembahasan APBD 2025 sudah sesuai prosedur. Meski pembacaan nota pengantar APBD 2025 yang disampaikan oleh Asisten II Setda Lebong Zulhendri tanpa mandat dari Bupati, menurut Carles Ronsen itu bukanlah masalah.
Sementara dari pengakuan Zulhendri, menyampaikan bahwa kehadiran pada rapat paripurna DPRD lantaran menerima undangan untuk menghadiri rapat, namun terkait dirinya bertindak sebagai atas nama Bupati, merupakan permintaan DPRD Lebong.
Terkait pernyataan tersebut, Penjabat Sekda Lebong Ir. Doni Swabuana, ST., M.Si secara umum pihaknya menghormati pernyataan yang disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Lebong, yang menyebutkan pelaksanaan tahapan APBD 2025 sudah sesuai prosedur.
Akan tetapi, sambung Doni, Plt Bupati berkewajiban menyampaikan, bahwa beliau tidak memandatkan mewakili dirinya dalam paripurna, kerena alasan sesuai dengan butir-butir dalam surat yang disampaikan kepada Ketua DPRD Lebong sebelumnya.
"Perkara Ketua DPRD menyampaikan hal tersebut sudah legal dan sah, itu merupakan hak ketua DPRD, pastinya kita tetap menghormati statemen beliau," ungkap Doni.
Namun, Doni mengatakan bahwa kewajiban eksekutif juga menyampaikan bahwa hal itu tidak prosedural, dan apa yang akan terjadi secara hukum di kemudian hari, itu bukan menjadi tanggung jawab eksekutif lagi, termasuk juga soal sanksi apabila APBD Kabupaten Lebong ditolak oleh Pemprov Bengkulu pada saat verifikasi nantinya.
Termasuk juga konsekuensi bagi daerah, lanjut Doni, jika tidak sesuai ketentuan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 312 ayat 2 dijelaskan bahwa DPRD dan Kepala Daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Sebagaimana dimaksud ayat 1, dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan, yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 bulan.
"Yang jelas kita sudah mengingatkan poin penting dan adanya sanksi, jika pembahasan APBD tidak sesuai aturan," Pungkas Doni.[spy]