Saya salah seorang yang menganggap banyak kekosongan moral dan sangat menjijikkan pada demokrasi kita. Tidak ada perayaan yang benar-benar memberi banyak garansi kebahagiaan. Kita hanya bertaruh pada banyak hasutan dari para politikus yang mencoba mengambil alih kemandirian berpikir kita.
Jika kita bertanya, apa yang kita dukung? Kenapa kita membela? Apa kegunaan penting hak suara dari kelanjutan politik yang mendukung kesejahteraan orang banyak? Saya pikir kita susah mendapatkan jawaban yang masuk akal? Kecuali kita digaji untuk menyerahkan pembelaan kita. Tapi itu kesadaran palsu.
Sajak lahirnya demokrasi di tanah Yunani, kelanjutannya di era modern betul-betul memberikan masalah besar. Sifat ekletiknya, bertahan sampai sekarang. Siapa yang mau menikmati hidangan yang sebelumnya dicocok-cocokkan dengan selera kita? Kecuali orang yang benar- benar sedang kelaparan bukan?
Bagaimana penjabaran lebih lanjut mengenai sifat ekletik dari demokratisme yang kita nikmati sampai hari ini? Point yang paling menonjol adalah dengan mengetengahkan kandidat yang bukan apa yang ada dalam virtue kita mengenai kemaslahatan. Politik partisan yang sangat primordial, mengantarkan partai-partai kita cuek dengan apa yang publik inginkan. Tidak ada hak suara pada publik untuk melakukan uji tanding pada apa yang ditawarkan partai. Hak publik hanya pada hak pilih yang ada dalam keputusan partai. Lalu partai mewakili siapa?
Belum lagi kita bicara ongkos yang dibutuhkan dalam mengantar dan memenangkan kandidat kedalam arena tanding. Bukan rahasia umum, bagi Incumbent akan memanfaatkan kekuatan birokrasi - baik Uang maupun massa- untuk mengarahkan dukungan. Oposisi pun sebaliknya akan memanfaatkan jaringan partai, pengusaha kaya untuk membiayai proses ini. Lalu dimana letak partisipasi publik?
Issue minoritas
Apa yang dibayangkan oleh Rawls dalam teori keadilan mengenai demokrasi? Hal paling terpenting terletak pada distribusi keadilan. Keikut sertaan banyak pihak, baik dalam arus utama maupun tidak?
Demokrasi Indonesia tidak bicara tentang distribusi ini. Setidaknya belum sampai sekarang. Mencengangkan bagi kita saat melihat penentangan terhadap kampanye tidak menggunakan hak suara - golongan putih. Bukankah demokrasi juga akan merangkul hal sama terhadap golongan yang menyuarakan hak untuk tidak menggunakan hak suara? Bukankan ini ekletisme? Jika penentangan baik melalui lembaga aktif ataupun oleh pribadi-pribadi pendukung penggunaan hak suara?
Apa yang diinginkan minoritas ini? Siapa yang akan memeriksa kevalidan informasi yang mereka ajukan? Kenapa kekhwatiran mereka muncul?. Negara tidak mau ambil pusing terhadap suara minoritas ini. Kampanye demokratisme hanya melulu menggunakan hak suara, partisipatif publik sesuai angka yang layak menggunakan hak suara atau tidak. Hanya sebatas itu yang sedang terjadi.
Post demokrasi.
Kita sampai pada pasca demokrasi. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Colin Crouch. Crouch menciptakan istilah pascademokrasi untuk menggambarkan tren demokrasi liberal yang dimulai pada tahun 1970-an. Menurut Crouch, meskipun lembaga demokrasi liberal masih berjalan — pemilihan umum, parlemen, supremasi hukum, dll. — kekuasaan tetap dialihkan dari warga negara dan perwakilan mereka ke perusahaan dan lembaga keuangan yang tidak dipilih.
Crouch menekankan meningkatnya sikap apatis banyak orang terhadap politik. Ia juga menyoroti ketidakpedulian mereka dalam terlibat dalam proses pengambilan keputusan, terutama terkait kebijakan yang menentukan kualitas hidup mereka. Meskipun warga negara terus memberikan suara dalam pemilihan nasional, lokal, dan Eropa, tingkat partisipasi tetap menurun.
Crouch menemukan pergeseran signifikan dalam peran perusahaan besar, kelas sosial, partai politik, dan, akhirnya, kewarganegaraan. Perusahaan besar menjadi lembaga politik karena mereka mewujudkan kelas pemilik modal yang terus berkembang. Namun, mereka juga menjadi lembaga karena mereka memiliki kapasitas yang telah hilang oleh negara melalui privatisasi yang terus berlangsung.
Inti dari analisisnya adalah menurunnya pekerjaan kelas pekerja manual. Berbeda dengan kelas pemilik modal yang sedang berkembang, jumlah pekerja manual terus menurun, dan serikat pekerja kehilangan daya negosiasinya. Lihat di https://theloop.ecpr.eu/it-is-post-democracy-or-is-it-maybe-authoritarian-neo-liberalism/.
Apa selanjutnya terjadi? Setelah pasca demokrasi , pertama bisa saja kita kembali pada otoritarian Neo liberal. Kedua Publik tetap dalam kesadaran yang sama / ketidakberdayaan, artinya hanya memulung sampah kebijakan, menikmati parade kemewahan pejabat yang bersanding rangkul dengan kelompok populer lainnya.
Tetapi hal yang paling krusial adalah memungkinkan lahirnya sikap ;
1. Apatis: publik yang semakin tidak bergairah atas kesadarannya untuk memperjuangkan hak kepada negara
2. Kekerasan: Publik yang sadar akan mengompori massanya untuk melakukan letupan-letupan perlawanan,baik Insidentil maupun teroginsir. Memungkin juga terjadi tindakan untuk memerdekakan diri secara wilayah, dan memilih otoritas sendiri - tapi ini mungkin membutuhkan waktu yang lama.
3. Kesadaran yang tidak tumbuh, melahirkan elit yang semakin opresif
4. Lahirnya Klas tidak berguna - Homo Unitilis-., tidak linear dengan perkembangan demokrasi, tapi perubahan dan arah kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat akan melahirlan klas yang tidak terpakai - klas tidak berguna - useless class. Useless class pertama kali diperkenalkan oleh Yuval Noah Harari, dia berpendapat bahwa ketika kecerdasan buatan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, kita harus menciptakan sistem ekonomi, sosial, dan pendidikan yang baru. Orang-orang yang akan menjadi pengangguran akan menciptakan "kelas yang tidak berguna" yang perlu diarahkan kembali, berbeda dengan "kelas pekerja" yang tersisa yang akan dipercayakan untuk mengoperasikan mesin.
Sederhananya, Tsunami teknologi bukan saja sekedar merombak model kerja manusia, tetapi melahirkan klas baru yang berbahaya, yang selama ini sangat bergantung pada model kerja tradisional dan dukungan penuh dari negara demokratis. Tapi bayangkan jika dukungan tersebut tidak terdistribusi secara baik, maka kita akan mengalami Distingsi sosial - class yang tidak lagi tersebut, mubazir, tidak terpakai alis tidak berguna
-: Ronald Reagen -