PedomanBengkulu.com - Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) yang terjadi di Bengkulu dan tertangkapnya calon Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah cukup mengejutkan. Apalagi tersangka Rohidin saat ini sedang mengikuti kontestasi politik Pilkada Serentak yang akan berlangsung, Rabu (27/11/2024) tepatnya besok. Ironisnya, tersangka ini diduga melakukan pemerasan terhadap anak buahnya untuk biaya politik Pilkada.
Apakah langkah KPK ini wajar di tengah masa tenang ?
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman mengatakan, di dalam peraturan perundang-undangan tidak ada satupun dasar yang menjadi landasan untuk menunda proses hukum ketika sedang ada pemilihan termasuk pemilukada.
"Artinya justru, misalnya seperti kejaksaan menunda proses karena menghormati pemilihan, agar tidak ada politisasi, tidak membunuh karakter dan seterusnya, itu sampai sekarang tidak ada dasar hukumnya. Nah yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang memilih waktu untuk korupsi di masa hari tenang, bukan KPK, yang memilih waktunya kan para pelaku sendiri, KPK merespon dengan penegakan hukum berdasarkan undang-undang," ungkap Zaenur Rohman saat menjadi narasumber di kompas tv membahas soal OTT KPK di Bengkulu, Selasa (26/11/2024).
Sehingga, sambung Zaenur Rohman, ketika terjadi tindak pidana korupsi, misalnya penyerahan uang suap, gratifikasi atau merugikan keuangan negara tetapi tidak diproses hukum hanya karena alasan masa tenang, justru itu merupakan bentuk melawan hukum oleh penegak hukum itu sendiri dan tidak sesuai dengan prinsip kesamaan dimata hukum.
"Kalau memang negara ini memilih tidak ada proses hukum terhadap calon ketika masa tenang maupun masa pemilu. Maka para pelaku politisi akan memilih waktu untuk melakukan korupsi, kan sedang kebal. Menurut saya, yang dilakukan KPK beralasan hukum, selama KPK memegang dua alat bukti. Karena sekali lagi, dari sisi waktu yang memilih korupsi itukan bukan KPK kapan waktunya, yang memilih kan pelaku itu sendiri, sehingga sekali lagi selama KPK memegang alat bukti tidak ada yang bisa menghalangi proses penegakan hukum termasuk saat Pilkada masa tenang," terang Zaenur Rohman.
Zaenur Rohman menyatakan, jika korupsi seperti yang di OTT KPK dibiarkan, maka masyarakat akan seperti membeli kucing dalam karung. Dengan OTT KPK tersebut masyarakat menjadi mengerti tabiat asli dari calon yang ikut kontestasi dalam Pilkada.
"Justru kalau ketahuan ada seorang calon kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi dan melancarkan transaksinya menjelang pemungutan, itu memberi kesempata kepada masyarakat untuk berfikir ulang, apakah akan memilih atau tidak memilih, silahkan masyarakat tentukan sendiri. Tetapi dari sisi penegakan hukum, penegak hukum itu memberi semacam informasi keterbukaan kepada publik terkait yang dilakukan pelaku. Sekali lagi menurut saya tidak usah ada ke khawatiran. Misalnya apakah ini ada politisasi. Menurut saya soal politisasi penegakan hukum memang dalam satu sisi tidak terhindarkan, karena biasanya yang lapor adanya transaksi tidak lepas dari rivalitas. Tapi tidak menyoal siapa yang lapor. Yang disoal KPK adalah benar tidak laporannya. Kalau ada buktinya ya tinggal ditangkap. Kalau tidak ada buktinya jangan sesekali mentersangkakan orang. Jangan sekali-kali hanya menyandra seorang calon kepala daerah atas pesana politik atau informasi yang belum pasti," bebernya.
Tetapi jika KPK sudah melakukan Tangkap Tangan, pastinya sudah mendapatkan bukti seperti hasil sadapan, saksi-saksi dan alat bukti yang cukup. Bahkan bisa saja KPK sudah mengantongi bukti audio visual baik dalam bentuk CCTV maupun kamera pantau. "Sehingga setelah mendapatkan informasi, mengumpulkan bukti-bukti bergerak cepat menangkap dan sekarang semuanya telah ditetapkan sebagai tersangka," jelas Zaenur Rohman.
Diketahui, KPK telah menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri dan Evriansyah alias Anca selaku ajudan Gubernur Bengkulu sebagai tersangka.
Ketiga tersangka langsung ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 24 November 2024 sampai dengan tanggal 13 Desember 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK. Mereka disangkakan telah melanggar ketentuan pada Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP. (Tok)