Oleh Saeed Kamyabi
PedomanBengkulu.com, Ketika membandingkan perjalanan kepemimpinan Bashar al-Assad di Suriah dan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia, kita melihat dua presiden yang menghadapi tantangan besar di negara masing-masing. Namun, nasib mereka berbeda: Assad terus diguncang perang saudara dan tekanan internasional, sementara Jokowi berhasil menyelesaikan masa jabatannya dengan relatif damai. Apa yang membedakan keduanya? Bagaimana kebijakan mereka, situasi politik, dan respons rakyat masing-masing membentuk sejarah?
Bashar al-Assad: Dari Harapan ke Kekacauan
Bashar al-Assad naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2000 menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad. Awalnya, ia dipandang sebagai sosok reformis dengan pendidikan modern dan pandangan progresif. Namun, harapan itu berubah menjadi kekecewaan ketika rakyat Suriah menghadapi ketidakadilan, nepotisme, dan stagnasi ekonomi.
Titik balik terjadi pada 2011, ketika Arab Spring menyapu Timur Tengah. Rakyat Suriah menuntut reformasi politik, mengakhiri korupsi, dan demokrasi. Namun, alih-alih merespons dengan reformasi, Assad memilih tindakan represif: penangkapan massal, penembakan demonstran, dan penutupan akses informasi. Akibatnya, protes berubah menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok pemberontak, termasuk faksi radikal seperti ISIS.
Kebijakan Assad lebih mengandalkan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Dukungan dari Rusia dan Iran juga menjadi penyelamat utama rezimnya. Namun, harga yang dibayar mahal: lebih dari 500.000 orang tewas, jutaan mengungsi, dan infrastruktur negara hancur. Bashar al-Assad tetap bertahan, tetapi pemerintahannya tak lagi memiliki legitimasi di mata rakyatnya maupun dunia internasional.
Joko Widodo: Pemimpin Rendah Hati dalam Demokrasi
Berbeda dengan Assad, Jokowi datang dari latar belakang sederhana sebagai pengusaha mebel dan walikota. Ia dipilih sebagai presiden pada 2014 karena dianggap sebagai simbol perubahan di tengah oligarki politik Indonesia.
Jokowi menghadapi tantangan besar selama dua periode kepemimpinannya, termasuk pandemi COVID-19, tekanan ekonomi global, dan polarisasi politik domestik. Namun, yang membedakan Jokowi adalah pendekatannya yang lebih inklusif dan pragmatis. Ia berfokus pada pembangunan infrastruktur, digitalisasi ekonomi, dan program sosial seperti Kartu Prakerja dan BPJS Kesehatan.
Meskipun sering dikritik, Jokowi mampu menjaga stabilitas politik. Salah satu kunci keberhasilannya adalah kemampuan membangun konsensus dengan berbagai kekuatan politik, termasuk tokoh-tokoh yang sempat menjadi lawannya, seperti Prabowo Subianto. Selain itu, rakyat Indonesia menunjukkan kesabaran luar biasa, meski kerap menghadapi ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah, seperti UU Cipta Kerja.
Membandingkan Kebijakan: Kekuatan atau Beban?
1. Pendekatan terhadap Konflik:
- Assad: Menggunakan kekuatan militer untuk menumpas oposisi. Pendekatan ini memperburuk konflik, mengundang intervensi asing, dan menghancurkan kepercayaan rakyat.
- Jokowi: Lebih mengutamakan diplomasi politik untuk meredam ketegangan, meski ada momen kontroversial seperti penanganan aksi demonstrasi mahasiswa.
2. Ekonomi:
- Assad: Ekonomi Suriah terkikis oleh korupsi sistemik dan sanksi internasional, membuat rakyat semakin terpuruk.
- Jokowi: Mendorong pembangunan infrastruktur masif seperti jalan tol, MRT, dan pelabuhan. Meskipun ada utang negara yang meningkat, manfaat jangka panjang dari investasi ini mulai terlihat.
3. Hubungan dengan Rakyat:
- Assad: Pemerintahannya dianggap semakin otoriter, mengabaikan aspirasi rakyat.
- Jokowi: Terlihat lebih dekat dengan rakyat. Kunjungannya ke pasar tradisional atau aksi blusukan mencerminkan gaya kepemimpinan yang merakyat.
Faktor yang Membuat Jokowi Bertahan
Ada dua hal utama yang membuat Jokowi bertahan hingga akhir masa jabatan:
1. Kesabaran Rakyat Indonesia:
Meskipun menghadapi berbagai persoalan, masyarakat Indonesia cenderung menghindari jalan kekerasan untuk menyampaikan aspirasi. Tradisi demokrasi yang relatif stabil, meski ada riak-riak seperti Pilkada dan Pemilu, menjadi fondasi yang kuat.
2. Kemampuan Beradaptasi Jokowi:
Jokowi tidak hanya menjadi presiden yang membangun, tetapi juga pandai membaca peta politik. Dengan mengajak Prabowo masuk ke kabinet, misalnya, ia meredakan potensi oposisi yang bisa menjadi ancaman.
Kehebatan Jokowi atau Kesabaran Rakyat?
Keberhasilan Jokowi menyelesaikan masa jabatannya dengan aman bukan hanya soal kepemimpinannya, tetapi juga mencerminkan karakter rakyat Indonesia. Ketika melihat ketidakstabilan di Suriah, kita disadarkan bahwa ketahanan suatu negara tidak hanya bergantung pada pemimpinnya, tetapi juga pada kemampuan rakyat untuk bersatu.
Sebaliknya, kasus Bashar al-Assad menunjukkan bahwa pemimpin yang gagal mendengarkan suara rakyat akan membawa negaranya ke jurang kehancuran.
Bashar al-Assad dan Joko Widodo adalah dua presiden yang menghadapi tantangan besar, tetapi memilih jalan yang sangat berbeda. Assad memilih kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan, sementara Jokowi mengutamakan konsensus dan stabilitas.
Sejarah mencatat bahwa pemimpin besar adalah mereka yang mampu mendengar rakyatnya. Jokowi menunjukkan bahwa kebijakan yang inklusif dan pendekatan yang merakyat dapat membawa bangsa keluar dari badai, meski tidak sempurna. Di sisi lain, kasus Assad mengingatkan kita akan bahaya ketika seorang pemimpin mengesampingkan aspirasi rakyat demi ambisi kekuasaan.
Pada akhirnya, keberhasilan Jokowi menyelesaikan masa jabatannya adalah kombinasi dari kebijakannya yang pragmatis dan kesabaran rakyat Indonesia. Sebuah pelajaran berharga bagi dunia bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan dialog, bukan senjata.
Nha, apakah Jokowi nanti akan diadili atau tidak itu tergantung kesepakatan rakyat dalam pemerintahan Prabowo, yang jelas secara iman pengadilan akhirat pasti menanti.
Saeed Kamyabi
Penulis bebas yang gemar mengamati dinamika kebijakan publik di Indonesia. Inisiator Sistem Ekonomi Langit, Menuju Indonesia Emas 2045.