PedomanBengkulu.com, Lebong -
Lagi-lagi dugaan praktek pungutan liar (Pungli) biaya program nasional (Prona) penerbitan sertifikat tanah, kembali mencuat. Sebelumnya kasus serupa yakni dugaan Pungli oknum Lurah Tes digarap Tim Saber Pungli Kabupaten Lebong, bahkan sekarang sudah ditangani penyidik Satreskrim Polres Lebong.
Kali ini praktek pungli diduga dilakukan oleh jajaran Pemerintah Desa Suka Sari Kecamatan Lebong Selatan, Pemdes setempat mematok biaya sertifikat jauh melampaui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri (Menteri ATR/BPN, Mendagri, dan Menteri PDTT), batas maksimal biaya PTSL 2024 untuk Kategori IV (Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, Provinsi Kalimantan Selatan) ditetapkan sebesar Rp200 ribu.
Informasi tersebut terkuak, setelah adanya laporan salah satu warga Desa Sukasari kepada Wakil Bupati Lebong Fahrurrozi secara langsung. Bahkan warga yang rela naik ojek menuju rumah dinas Wabup Lebong tersebut, menyampaikan keluhannya kepada Wabup Lebong terkait sertifikat tanah melalui program Prona BPN belum diterimanya. Sedangkan dirinya sudah dimintai uang Rp400 Ribu oleh Pemdes Sukasari.
"Punya saya belum tapi punya warga lain sertifikatnya sudah keluar. Karena di surat jual beli itu atas nama saudara saya, mereka bilang ingin buat pengalihan nama, karena itu kena biaya Rp400 Ribu," kata salah warga Desa Sukasari sembari meminta indentitasnya dilindungi.
Diri nya juga mengatakan, bahwa pernah menanyakan kepada pihak Desa kenapa yang dia belum keluar, akan tetapi dijawab oleh pihak pemerintah desa untuk menunggu dari pihak BPN keluarkan.
Dikutip dari rakjat.com, Pjs Kepala Desa Sukasari Marian Sori membenarkan bahwa di desanya mendapatkan Prona sertifikat tanah lebih kurang sebanyak 150 persil, dirinya juga mengatakan bahwa benar adanya pungutan tersebut, akan tetapi pungutannya bervariasi antara Rp200 ribu dan Rp400 ribu.
“Emang ada pungutan biaya, karena dasar ingin membuat sertifikat mereka tidak ada seperti dasar mereka dapat itu apa, apa di beli atau hibah,walaupun mereka ada dasar pemilikan tanah masih dipungut sebesar 200 ribu," kata Ansori.
Sementara itu, ada juga yang dipungut biaya sebesar 400 ribu oleh pihak pemerintah desa, dan kepala desa Sukasari juga membenarkan bahwa adanya pungutan, yang peruntukkannya seperti uang rokok perangkat yang ikut mengukur tanah warga.
“Jadi biaya Rp400 ribu itu, karena mereka tidak ada dasar kepemilikan seperti hibah atau jual beli. Karena surat awalnya tidak ada, jadi saya suruh perangkat saya buat surat dasarnya apakah itu hibah atau jual beli. Ketika pengukuran lahan warga, saya suruh beri aja duit rokok perangkat saya itu. Mungkin itu perangkat saya ambil Rp.200 lagi tambahan sebelumnya sehingga menjadi Rp400 ribu," sampainya.
Selain uang rokok perangkat, Marian Sori menyebutkan biaya yang ditarik tersebut, juga diperuntukkan untuk biaya makan minum petugas BPN Lebong saat pengukuran.[spy/*]