Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD: Refleksi atas Usulan Presiden Prabowo

Oleh: Saeed Kamyabi  

Baru-baru ini, usulan menarik sekaligus kontroversial muncul dari Presiden Prabowo Subianto. Dalam sebuah pernyataan, Presiden mengusulkan agar pemilihan bupati ke depan dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) alih-alih melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Usulan ini, meskipun cukup mengejutkan, tidak serta-merta mendapat tanggapan yang signifikan dari pejabat negara maupun lembaga-lembaga terkait, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagian masyarakat bahkan menyampaikan keheranannya karena ide besar ini terasa kurang mendapatkan respons yang memadai.  

Konteks dan Latar Belakang  

Usulan ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Prabowo dalam sebuah acara resmi di Jakarta pada Desember 2024. Menurut beliau, pelaksanaan pemilihan langsung selama ini telah memberikan beban besar terhadap anggaran negara dan menciptakan gesekan sosial yang cukup tajam di masyarakat. Sistem baru, katanya, diharapkan mampu menyederhanakan proses demokrasi dan mengembalikan keseimbangan fungsi perwakilan daerah.  

Namun, tanggapan publik terhadap gagasan ini tampaknya cenderung "dingin". Hampir tidak ada pernyataan tegas dari menteri, anggota DPR, atau lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU. Para akademisi dan pengamat politik pun kebanyakan memilih untuk melihat usulan ini sebagai wacana yang belum tentu akan terealisasi.  

Mengapa Responnya Lambat?  

Ada beberapa alasan mengapa respons pejabat dan masyarakat terhadap usulan ini terkesan lambat atau bahkan skeptis:  

1. Relevansi terhadap Demokrasi  

   Pemilihan langsung selama ini dianggap sebagai pencapaian besar dalam demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Jika mekanisme tersebut diganti, banyak yang khawatir ini akan menjadi langkah mundur, meskipun alasannya adalah efisiensi.  

2. Trauma Masa Lalu  

   Sebelum reformasi 1998, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, tetapi sering kali diwarnai oleh praktik korupsi dan intervensi politik yang kuat. Trauma masa lalu ini menjadi alasan mengapa banyak pihak enggan kembali ke model serupa.  

3. Minim Penjelasan  

   Usulan Presiden belum disertai dengan rincian teknis yang jelas, seperti mekanisme pengawasan, keterlibatan publik, atau pengelolaan konflik kepentingan. Hal ini membuat banyak pihak merasa bingung dan memilih untuk menunggu penjelasan lebih lanjut sebelum merespons.  

Mengapa Tidak Disambut Baik?  

Banyak kalangan masyarakat menganggap bahwa usulan ini akan mengurangi hak politik mereka sebagai pemilih. Berikut adalah beberapa argumen yang mendasari ketidaksukaan terhadap ide ini:  

1. Minimnya Representasi Langsung  

   Pemilihan langsung dianggap sebagai wujud nyata suara rakyat. Jika hak tersebut diambil, masyarakat mungkin merasa tidak lagi memiliki kendali atas siapa yang memimpin daerahnya.  

2. Potensi Korupsi  

   Dengan model pemilihan melalui DPRD, kekhawatiran akan praktik jual-beli suara antara calon kepala daerah dan anggota DPRD menjadi sangat tinggi. Hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.  

3. Peluang Terbatas bagi Kandidat Independen  

   Selama ini, pemilihan langsung memberikan peluang bagi calon independen untuk bersaing. Sistem DPRD kemungkinan besar akan memperkuat dominasi partai politik.  

Manfaat Potensial dari Usulan Ini  

Namun, terlepas dari berbagai kritik, usulan ini memiliki sejumlah kelebihan yang patut dipertimbangkan:  

1. Efisiensi Anggaran  

   Pemilihan langsung membutuhkan biaya yang sangat besar, baik untuk logistik, pengamanan, maupun kampanye. Dengan model DPRD, pengeluaran tersebut bisa dipangkas secara signifikan, memungkinkan dana dialihkan untuk program pembangunan lainnya.  

2. Mengurangi Polarisasi Sosial  

   Pemilu langsung sering kali menciptakan konflik horizontal di masyarakat, terutama ketika kandidat dari kubu yang berseberangan bersaing dengan sangat ketat. Pemilihan melalui DPRD dapat mengurangi ketegangan ini karena prosesnya lebih tertutup.  

3. Meningkatkan Akuntabilitas DPRD  

   Dengan diberi tanggung jawab untuk memilih kepala daerah, DPRD dapat dipaksa untuk lebih bertanggung jawab kepada konstituen. Masyarakat bisa menuntut anggota DPRD untuk memilih calon yang benar-benar berkualitas.  

KPU: Di Mana Posisi Mereka?  

Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu terlihat belum memberikan tanggapan resmi atas usulan ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah KPU merasa tidak "terpanggil" oleh gagasan ini?  

Ada kemungkinan bahwa KPU merasa ide tersebut belum cukup matang untuk didiskusikan secara serius. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tentunya akan menunggu arahan atau keputusan politik yang lebih konkret sebelum memberikan pandangan.  

Refleksi Akhir  

Usulan Presiden Prabowo ini, meskipun tampak sederhana, sebenarnya menyentuh banyak aspek fundamental dalam demokrasi Indonesia. Ia mengundang kita untuk memikirkan kembali keseimbangan antara efisiensi pemerintahan dan partisipasi publik. Namun, untuk dapat diimplementasikan, gagasan ini membutuhkan kajian mendalam, transparansi, serta komitmen untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.  

Pertanyaan besarnya adalah: apakah rakyat Indonesia siap menerima perubahan fundamental ini, ataukah ini hanya akan menjadi catatan kecil dalam sejarah wacana demokrasi kita? Waktu yang akan menjawab.    

Saeed Kamyabi  

Penulis bebas yang gemar mengamati dinamikaf kebijakan publik di Indonesia. Inisiator Sistem Ekonomi Langit.  Menuju Indonesia Emas 2045.