Obituari untuk Mendiang Ahmad Bara Muslimin
Sebagai kawan dan saudara seperjuangan, saya menatapnya sebagai Pribadi hebat yang tumbuh dari rahim gerakan rakyat miskin perkotaan di Kota Bandar Lampung. Separuh hidupnya habis dibaktikan untuk melebur dalam kobar perjuangan kaum lemah dan papa.
Perkara advokasi jaminan kesehatan dan pendidikan untuk si miskin atau hak-hak kaum buruh yang dikadali para cukong sudah jadi nafas hidupnya. Bahkan bukan cuma isu-isu kaum miskin kota saja yang sudah ia geluti sebagai aktivis kerakyatan, tetapi sampai ragam konflik agraria di pelosok Sumatera ia ambil jadi resiko hidupnya pula.
Bulir keringatnya yang saya kenal bertahun dulu adalah cerminan darah rakyat yang berharap agar dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni merasakan hidup sejahtera di negerinya sendiri.
Karakter Cak Amad (begitu panggilan akrab kami) memang eksentrik!
Agak laen, kalau dia sendiri mengakui. Saya bilang bukan dalam arti negatif, Cak adalah pendobrak!
Dalam banyak momen obrolan larut malam kami dulu, saya simpulkan dia memang buah yang masak dari alam. Proses dialektika kehidupannya sebagai aktivis memang lain dari kebanyakan kami rekan-rekannya saat itu yang tumbuh dari jalur mahasiswa bernalar kritis dan haus demonstrasi.
Sementara Cak, murni bermula dari pekerja serabutan atau urban poor kata orang-orang. Jika kami ditempa dengan alur Pendidikan-Aksi-Bacaan, maka Cak berangkat dari Aksi dulu baru kemudian dia akses itu bacaan maupun pendidikan (terutama dari organisasi).
Tapi hasrat belajar Cak memang seperti orang tak punya udel!
Meski usianya lebih tua dari kebanyakan rekan kebanyakan yang menyandang status mahasiswa itu, dan penampilannya juga mulai ke-bapak-an, ia tak pernah ragu menurunkan ego, berpegang pada prinsip egalitarian.
Ia masuk ke setiap ruang diskusi mahasiswa, menyerap, berjibaku dalam diskursus, dan mengejar pengetahuan itu sendiri. Nafsunya pada literasi juga tak seperti orang dari kalangan asalnya. Ia haus ilmu dan membaca begitu banyak referensi, tentang apapun.
Bicara dengannya selalu membuat kita lelah karena tak mungkin sebentar dan ringan. Panjang kali lebar luas kali tinggi, segala hal akan dibahas dari ujung rambut sampai ujung kuku jari kaki. Berbobot.
Dari filsafat materialisme versus idealisme, Lahirnya Kapitalisme sampai kemungkinan Revolusi Proletariat. Piramida Aztec, Mesir Kuno, sampai Gunung Padang, Kitab Hukum Hammurabi Babilonia sampai Revisi UU KUHP, Perkara Geografi sampai kandungan Kimiawi, Jurus Dagang Asongan sampai Teknik Marketing Konglomerat, Gadjah Mada dengan Sumpah Palapanya sampai Bung Karno dengan Pancasila. Atau dari urusan patah hati sampai hal ihwal jatuh cinta.
Karena keluasan alam pikirnya itulah, pada akhirnya dulu kami juluki Cak, ibarat sosok Kakek Segala Tahu dari wiracarita Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng karya Bastian Tito yang terkenal itu.
Sebagai karib dalam perjuangan, tak ada yang membantah jika Cak adalah sosok Teman Setia. Ia tak mudah ragu mengulur bantuan meski terkadang ia harus menanggung sulit dan pedihnya juga. Ia juga bukan orang yang suka perhitungan.
Optimismenya memandang hari esok, seringkali menularkan energi positif bagi orang-orang di sekitarnya. Walaupun hari ini makan siang pun belum tentu kita bisa temukan. Strategi taktiknya yang sering nampak akrobatik pun nyatanya banyak menuai salut.
Cak memang tak pernah berhenti belajar, bertumbuh, dan berjuang. Visinya jauh dan langkahnya pasti. Prinsipnya juga teguh, seperti bagaimana ia sanggup mempertahankan rambutnya tak akan tersentuh gunting sampai cita-cita yang sudah terucapnya itu tercapai.
Ia yang belakangan kukenal dari jauh sudah berkembang jauh lebih pesat pula, sebagai pribadi yang jauh semakin hebat. Melampaui begitu banyak batasan. Bermetamorfosis dari aktivis menjadi politikus kerakyatan.
Tapi Tuhan sudah menetapkan, sore hari kemarin, 26 Desember 2024 tugasnya mewarnai dunia dicukupkan. Dengan nama yang harum mewangi, dan tercium banyak kalangan handai taulan yang merasai kehilangan sosoknya.
Dalam kedamaian hakiki, Cak beristirahat panjang.
Allahumaghfirlahu Warhamhu Wa'afihi Wa'fuanhu,
Alfatihah.
Hormat ku,
Saddam Cahyo.
Penulis adalah Analis Kebijakan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)