Foto Istimewa Masjid Rancangan Bung Karno
“Saya tidak yakin di kemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun sebuah bangsa.” Begitulah kata Bung Karno kepada seorang gurunya di Sekolah Teknik Bandung, Professor Ir Wolf Schoemaker, yang menawarinya pekerjaan merancang pembangunan perumahan Bupati.
Sebagaimana dilansir Berdikari Online, meski ditolak, Sang guru terus mendesak Soekarno. “Jangan ambil pekerjaan jangka lama. Bangunlah satu rumah ini saja untuk Bupati,” kata sang Professor merayu bekas muridnya. Bung Karno tak bisa menolak lagi. Pekerjaan itu diterimanya dan berhasil dilakukan dengan baik.
Baca juga : Bung Karno di Bengkulu, Pantai Panjang Menjadi Saksi Gelora Hati Pada Fatmawati
Pekerjaan sebagai insinyur, di jaman itu, sangatlah bergengsi. Di kalangan pribumi, jumlah insinyur bisa dihitung jari. Saat itu, di sekolah Teknik di Bandung, hanya ada 11 orang pribumi. Salah satunya adalah Bung Karno.
Tanggal 25 Mei 1925, Bung Karno resmi menyandang gelar “insinyur”. Ia menjadi spesialis di bidang teknik jalan raya, konstruksi pelabuhan dan pengairan. Di samping itu, Bung Karno punya keahlian dalam hal perencanaan kota. Tak heran, tawaran pekerjaan bertalu-talu datang kepadanya.
Di Bengkulu, ilmunya pernah dia abdikan dengan mengarsiteki renovasi Masjid Jamik yang terletak di pangkal Jalan Suprapto, jantung lalu lintas perekonomian Kota Bengkulu. Sebelum mendapat sentuhan tangannya, masjid yang sekarang ramai dikunjungi oleh wisatawan ini tampak kotor, kelihatan usang dan lapuk.
"Aku kemudian merancang sebuah masjid dengan tiang-tiang yang indah, ukiran sederhana, dan pagar tembok putih yang tidak ruwet," terangnya, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 167.
Baca juga : Bung Karno di Bengkulu, Laksana Dukun Sakti yang Baik Hati
Menurut sumber lain, tak hanya rumah, selama di Bengkulu Bung Karno juga menunjukkan keahliannya dalam merancang mebel. Bung Karno tercatat pernah bekerjasama dengan perusahaan mebel itu milik Oey Tjeng Hien alias Abdul Karim. Bung Karno banyak merancang berbagai bentuk meja, kursi, dan lemari. Keterlibatan Bung Karno dalam usaha ini diabadikan menjadi nama perusahaan. Namanya "Peroesahaan Meubel Soeka Merindoe di bawah Pimpinan Ir Soekarno."
Pada tahun 1940, saat Hitler menyerbu Belanda, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda memanggil Bung Karno ke Benteng Marlborough yang letaknya sekira 2 kilometer dari kediamannya. Kepada Bung Karno, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda meminta Bung Karno membangun sebuah monumen kekalahan Belanda atas Jerman.
"Sebagai satu-satunya seniman di Bengkulu, tuan ditunjuk untuk membuat tugu peringatan."
"Maksud tuan, setelah menahan saya karena saya menghendaki kemerdekaan untuk rakyat saya, tiba-tiba sekarang meminta saya, sebagai tawanan tuan, untuk membuat tugu karena bangsa lain merebut kemerdekaan negeri tuan?"
"Ya."
Betatapun Bung Karno ingin memuaskan selera seninya, namun apa yang dia lakukan hanyalah menumpuk tiga buah batu yang satu diatas yang lain. Hanya itulah seluruhnya yang dia kerjakan. Bung Karno merasa sama sekali tidak memiliki perasaan untuk menciptakan sesuatu yang indah bagi pemerintahan yang menjajah bangsanya.
Baca juga : Bung Karno di Bengkulu, Dinamis, Dialektis dan Romantis
Sebelumnya, pada tahun 1926, Bung Karno membuka biro arsitek bersama kawannya, Ir Anwari. Beberapa rumah, dengan ukuran kecil-kecil, berhasil dibangun Bung Karno dari tahun 1925-1929. “Aku ini berpikiran besar, tapi yang aku rancang rumah-rumah kecil,” keluhnya. Beberapa rumah buah tangan Bung Karno di kota Bandung, Jawa Barat, masih bertahan hingga sekarang.
Pada tahun 1932, sekeluarnya dari penjara Sukamiskin Bandung, Bung Karno kembali membangun biro arsitek. Kali ini ia menggandeng kawannya yang lain, Ir Rooseno. Saat itu, Bung Karno mengerjakan rancangan dari rumah-rumah yang hendak dibangunnya, sedangkan Rooseno membuat hitungannya (kalkulasi). “Rencanaku (rancangan) bagus-bagus. Tidak begitu ekonomis (mahal) tetapi indah,” puji Soekarno terhadap karyanya sendiri.
Namun, bagi Sukarno, usahanya membangun biro arsitek hanyalah untuk “menyambung kehidupan”. Pada kenyataannya, sebagian besar waktunya dipergunakan untuk pergerakan politik. Ia pun akhirnya membangun sebuah partai politik radikal-progressif: Partai Nasional Indonesia (PNI).
Arsitek Bangsa Anti-Kolonial
Satu hal yang menonjol dari Bung Karno, yang membedakannya dengan pendiri bangsa yang lain, adalah kerja-kerasnya untuk membangun bangsa dengan karakter dan jiwanya sebagai manusia baru Indonesia. Manusia baru itu adalah manusia merdeka, anti-kolonial, dan anti-imperialisme.
Baca juga : Bung Karno di Bengkulu, Guru Muhammadiyah yang Bersahaja
Bagi Sukarno, bangsa yang pernah ratusan tahun diinjak-injak kolonialisme harus dibebaskan terlebih dahulu jiwanya. Mental bangsa terjajah, seperti perasaan rendah diri (inferiority complex), harus disikat habis. Untuk itu, rakyat harus dibangkitkan rasa percaya diri dan kemampuannya.
Bung Karno menyebut usahanya sebagai tahap “nation building”. Ia berseru-seru agar bangsa Indonesia meninggalkan segala macam mental keinlanderan. Ia menyerukan perlunya memperbaharui mentalitas sebuah bangsa. Ia meminta manusia baru Indonesia agar menjadi patriot bangsa dalam kesederhanaan. Sebagai pembenarannya, ia mengutip George Bernard Shaw: kebahagiaan sejati adalah membaktikan dirimu pada sesuatu yang besar.”
Sukarno, yang ahli memahami jiwa massa itu, menganggap perlu memberi kebangaan nasional kepada rakyatnya. “Kalau aku sudah berangkat, maka satu-satunya alat pemersatu yang akan mengikat seluruh tanah-airku adalah kebanggaan nasionalnya yang sudah tertanam di dalam dada masing-masing,” katanya.
Pada tahun 1960, ia sudah merancang pembangunan 350-an proyek penting untuk dibangun. Sebagai tahap awal, ia berusaha mengimplementasikan idenya itu pada Ibukota Republik, Jakarta. Sekalipun Jakarta masih berlumpur dan jalannya masih sangat sedikit, Bung Karno telah membangunkannya gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, stadion terbesar di asia kala itu, patung-patung, monumen, dan lain-lain.
Bung Karno berambisi mengubah Jakarta dari kota kolonial menjadi kota kebanggan bangsa Indonesia. Dan, supaya tak asal bangun, maka ia menunjuk seorang seniman Lekra, namanya Henk Ngantung, sebagai gubernur. Baginya, menata kota tak bisa dilepaskan dari visi seniman.
Tetapi, tidak sedikit orang yang mengeritik proyek Bung Karno itu. Bagi mereka, proyek Bung Karno itu, sering disebut “politik mercusuar”, telah menghambur-hamburkan uang rakyat. Sukarno lantas menjawab, “memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi makan kepada jiwa yang telah diinjak-injak oleh kolonialisme, dengan sesuatu yang membangkitkan kebanggaan mereka, inipun penting.”
Penulis buku “Biografi Politik Sukarno”, Kapitsa MS dan Maletin NP, mengatakan, tugas “revolusi kerohanian” memang penting bagi negara baru, tetapi tidak bisa mengesampingkan pembangunan ekonomi. Bagi penulis Soviet ini, pembangunan mental dan pembangunan ekonomi mestinya berjalan beriringan. Sebab, kegagalan ekonomi, khususnya pemenuhan hak dasar rakyat, bisa menjadi pintu masuk bagi imperialis untuk melakukan sabotase dan destabilisasi. Inilah yang terjadi pada kekuasaan Bung Karno.
Meski demikian, kita tidak bisa menihilkan kontribusi besar proyek “nation building” Bung Karno itu. Kalau tak ada proyek nation-building itu, mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah tercabik-cabik seperti Yugoslavia. [Ira Kusumah/Ahmad Runako]